Secara tradisional sufisme termasuk salah satu cabang ilmu pengetahuan tradisional Islam, selain fiqih, ilmu kalam, dan filsafat. Semuanya lahir secara sendiri-sendiri, tetapi saling berkait. Kelahirannya sebagai disiplin ilmu tersendiri, adalah sebagai kelanjutan wajar dari keperluan kepada adanya semacam diferensiasi ilmu pengetahuan Islam dalam abad kedua dan ketiga Hijriah.
Ketika Islam mencapai sukses yang luar biasa sepeninggal Rasullulah, khususnya di bidang militer dan politik, membawa berbagai akibat yang sangat luas. Salah satunya adalah perhatian yang amat besar pada bidang-bidang pengaturan masyarakat. Maka tidaklah mengherankan bahwa dari berbagai segi agama Islam, yang paling awal memperoleh banyak perhatian serius ialah yang berkenaan dengan hukum (fiqih), maka kesalihan-pun banyak dinyatakan dalam bentuk ketaatan kepada ketentuan hukum.
Mengapa para Sufi memiliki kesedihan yang besar untuk bersentuhan dengan umat-umat lain yang sesuai atau terbaik? Hal ini karena kaum sufi memiliki kesadaran akan ketunggalan kebenaran. Lebih dari kelompok fuqaha atau mutakallim, kaum sufi sangat memperhatikan ajaran-ajaran dalam kitab suci tentang ketunggalan Tuhan, ketunggalan kemanusiaan dan ketunggalan kenabian serta kerasulan. Agaknya karena pandangan hidup universalitasnya, kaum sufi bersedia untuk meneliti apa yang ada pada umat-umat lain dan mengambilnya.
Karena tauhid yang merupakan suatu yang tidak boleh diragukan, maka bagi kaum sufi Alquran itu tidak hanya memuat ajaran-ajaran yang mengisyaratkan bahwa Tuhan itu serba transcendental sebagaimana dipahami para mutakalimin, tetapi justru banyak ayat yang memberikan keterangan-keterangan yang menunjukkan Tuhan adalah serba immanen, senantiasa hadir bersama hamba-Nya selalu maujud dimana-mana.
Berbeda dengan para fuqaha yang banyak menekankan segi transendensi Tuhan, kaum sufi lebih menekankan sifat imanensi-Nya. Tuhan memang tidak akan terjangkau, namun bisa didekati (taqqarub). Sebab selain Dia Mahatinggi, Dia juga Mahadekat, maka Tuhan senantiasa akrab dengan hamba-hambaNya dan setiap saat dapat diajak dialog. Semangat dialog dengan Tuhan dalam akrab yang amat tinggi, banyak mewarnai karya-karya para sufi.
Hubungan antar sufisme dengan kata kedua cabang ilmu-ilmu keislaman. Namun katanya, bahwa perbedaan itu pada awalnya, terutama antara sufisme dan ilmu kalam lebih terletak pada masalah tekanan daripada isi ajaran. Selain persoalan transendentalisme, ilmu kalam juga lebih mengutamakan pendekatan rasional dan logis dan bersama syari’ah membentuk orientasi keagamaan yang lebih bersifat eksoteris. Sedangkan tasawuf sangat banyak menekankan pentingnya penghayatan ketuhanan melalui pengalaman-pengalaman nyata dalam olah rohani (spiritual exercise) yang mengutamakan intuisi.
Walaupun nampaknya menyimpan sikap apresiatif yang tinggi pada inti ajaran tasawuf, dengan tetap melihatnya adanya segi-segi yang otentik dalam tasawuf dan diperlakukannya begitu rupa sehingga tampak sebagai kelanjutan wajar dari semangat ajaran Islam. Namun sebagai seorang reformis, beliau mengingatkan bahwa kecenderungan kepada aspek esoteris itu, karena tekanan yang berlebihan, dapat menghasilkan kepincangan yang menyalahi prinsip ekuilibrium dalam Islam, dan menyalahi ajaran Islam, seperti zuhud atau asketisme yang pasif, isolatif dan “anti dunia” secara ekses-ekses negatif dari pemujaan kepada wali, kultus individu terhadap guru dan sebagainya yang menjurus kepada hilangnya sifat kritis dan kreatif.
Dalam hal ini, ajaran tasawuf perlu dipagari begitu rupa hingga tak menimbulkan eksek-ekses negatif tersebut dan menimbulkan kemunduran dan kepasifan akibat salah dalam tasawuf. Itulah sufisme yang sehat yang dikehendaki.
“Sufisme yang sehat akan berfungsi dengan sehat pula. Manakala tingkat intelektualitas dari para penganut sufi telah cukup tinggi. Adalah sebuah sikap yang benar jika para ulama melarang umat Islam memasuki dunia sebelum berbenah diri dengan syari’at.
Apa yang dimaksud Cak Nur sebagai sufisme yang sehat itu nampaknya adalah “Neo-sufisme” yaitu suatu jenis kesufian yang mempunyai ciri utama berupa tekanan kepada motif moral dan menghapuskan praktik dan pengalamannya tetap dalam kontrol dan lingkungan ajaran Alquran dan Sunnah. Cak Nur sendiri menggambarkan “Neo-sufisme” itu sebagai sebuah esoterisme atau penghayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan. Sesekali menyingkirkan diri (‘uzlah) mungkin ada baiknya, tapi jika hal itu dilakukan untuk menyegarkan kembali wawasan dan meluruskan pandangan, yang kemudian dijadikan titk tolak untuk pelibatan diri dan aktifitas segar lebih lanjut.[16]
Konsep Tasauf Modern
Pemikiran tasawuf yang ditawarkan adalah ‘tasawuf modern’, yakni ‘Neo-Sufisme’. Pada dasarnya memiliki makna dan gaya baru.
Konsep-konsep pemikiran yang sangat dinamis. Ia memahami tasawuf dengan pemahaman yang lebih tepat dengan ruh dan semangat ajaran Islam yang tidak membawa bibit-bibit kebid’ahan, khurafat, dan kesyirikan. Hamka adalah ulama modernis (mujaddid) yang begitu anti dengan hal-hal tersebut. Dapat dikatakan, corak tasawuf Hamka adalah tasawuf pemurnian.
Menurut Hamka, kekuatan Islam terletak pada aqidah Islam, aqidah Islam yang Menimbulkan akhlak Islam, aqidah pasti menegakkan akhlak. Semata-mata ilmu pengetahuan saja tanpa tegak di atas aqidah, tidaklah menimbulkan akhlak. Hamka meyakini bahwa aqidahlah yang akan membawa kemajuan. “Suatu kemajuan,yakni pembangunan, ketinggian martabat yang mulia diantara bangsa-bangsa, umat Islam tidaklah dapat dicapai kalau tidak berdasarkan kepada aqidah Islam serta memahami tasawuf dengan aqidah Islam yang berasaskan kktuhanan
Hamka menawarkan pendapatnya yaitu bahwa, tasawuf yang patut diintroduksi dan diamalkan “zaman modern” adalah tasawuf yang memiliki ciri yang
– Pertama, bermuatan memahami, menyadari dan menghayati zuhud yang tepat seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah sallallāhu ‘alaihi wasallam yang cukup sederhana pengertiannya, yaitu: lmemegang sikap hidup dimana hati tidak berhasil “dikuasai” oleh keduniawian.
– Kedua, sikap hidup zuhud tersebut diambil dari hasil pemahaman terhadap makna di balik kewajiban peribadatan yang diajarkan agama Islam, karena dari peribadatan itu dapat diambil makna metaforiknya, tentu saja peribadatan berdasarkan i’tiqad yang benar.
– Ketiga, sikap zuhud yang dilaksanakan berdampak mempertajam kepekaan sosial yang tinggi dalam arti mampu menyumbang kegiatan pemberdayaan umat (social empowering), seperti bergairah mengeluarkan zakat dan infaq sama dengan ketika menerima keuntungan dari hasil l kerja kerasinya.
– Keempat, memfungsikan tasawuf yang bersemangat juang seperti terumus di atas perlu dibahasakan (di artikulasikan) secara modern,yang implementasinya adalahh sufisme yang sehat atau “Neo-sufisme” yaitu suatu jenis kesufian yang mempunyai ciri utama “berupa tekanan kepada motif moral dan menghapuskan praktik dan pengalamannya tetap dalam kontrol dan lingkungan ajaran Alquran dan sunnah”. “Neo-sufisme” itu sebagai sebuah esoterisme atau penghayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan.
Sesekali menyingkirkan diri (uzlah) mungkin ada baiknya, tapi jika hal itu dilakukan untuk menyegarkan kembali wawasan dan meluruskan pandangan, yang kemudian dijadikan titik tolak untuk pelibatan diri dan aktifitas lebih segar , inovatif dan produktif dalam berkarya nyata untuk suatu pengabdian yang loyalitas tunggalnya hanyalah “Allah Swt..