Prof Harapandi :Maluku Bukan Kepalang

Prof Harapandi :Maluku Bukan Kepalang

Sesiapa yang memahami bahasa suatu kaum, maka ia akan aman dari hinaan dan caci-makian mereka  (al-Hadits)

Suatu hari, guru bahasa Inggris meminta kepada masing-masing siswa berpasang-pasangan untuk maju ke depan kelas, berdialog (al-Hiwar:Arab) adalah metod pengajaran yang dianggap mujarrab untuk membiasakan para siswa berkomunikasi. Semua kawan-kawan kelasku sudah menunjukkan keahlian dan kefasihannya dalam bercakap-cakap, tinggallah diriku dan seorang kawan yang bernama “Siddiq”, dengan langkah meyakinkan kami berdua maju dan masing-masing bertanya dengan bahasa “aneh” itu, percakapan kami mungkin yang paling tidak menarik “aneh dan membosankan” sehingga kami menjadi bahan tertawaan dan ejekan.

Dari pragmen ini dapat diambil satu i’tibar bahwa pelajaran apa saja yang di ajarkan oleh guru mesti diikuti dengan serius, suka atau tidak suka, karena pada akhirnya sikap kitalah yang akan menentukan gagal ataukah berhasil bahkan boleh jadi gara-gara sikap tidak perduli dan acuh terhadap satu pelajaran membuat diri kita gagal total dalam meraih mimpi-mimpi indah.
Bahasa adalah media komunikasi, jika tidak memahami bahasa sama saja kita menyerahkan diri untuk menjadi bahan cercaan, hinaan dan caci-makian orang lain sementara kita tidak paham apa yang mereka katakan pada kita.

Karena itu Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam memberikan nasihatnya kepada seluruh ummatnya yang bermaksud;
“Sesiapa yang mengetahui bahasa suatu kaum, ia akan aman dari hinaan dan perbuatan zolim orang lain”.
Tentunya apa yang ditegaskan Rasulullah sangatlah benar adanya, jika kita tidak mengetahui bahasa suatu kaum, maka –mungkin saja—menghina dan bahkan berbuat zolimi, namun karena kejahilan kita tidak memahami mereka sedang memperolok-olokkan kita.
Aku masih sangat kecil, bukan karena umurku belum cukup untuk belajar, tetapi fisikku memang kecil, karena itulah, diri yang lemah tak berdaya ini selalu menjadi bahan ejekan dan mainan teman-teman kelasku yang memiliki tubuh lebih besar.

Sebenarnya, murid-murid yang bertubuh mungil bukan hanya diriku, masih ada dua kawan lain yaitu Khairuddin dari desa Sikur dan Akhyar dari desa Kesik. Kami tiga sekawan, namun sikap-sikap murid yang berbadan besar hanya menjadikan diriku sebagai bahan mainan mereka, tak jarang aku terisak-isak dalam tangis akibat sikap yang melampaui batas mereka.

Maisun (Icun:panggilan akrabnya) adalah teman kelasku yang perduli, dia adalah seorang siswi dari Desa Sikur, anak orang berada (seorang mantri; perawat), dialah yang selalu membela diriku saat kawan-kawan lain berbuat iseng, dia yang menghalangi tangan-tangan jahat mereka, dia pula yang mencoba mendiamkan diriku saat gerimis mulai terlihat di wajah, tangis adalah cara yang sangat efektif untuk menghentikan keisengan teman-temanku.
Pengajaran utama dari pembelaan seorang teman ialah yakinlah saat engkau mendapatkan kesulitan Allah akan mengutus seseorang menjadi pembelamu, saat engkau sedih Allah akan mendatangkan tangan-tangan penyantun mengasihimu, saat engkau lemah Allah akan menghadirkan makhlukNya sebagai penyangga tubuhmu dan saat engkau berada dalam kesepian Allah akan menghadirkan cara-cara yang dapat menghiburmu.

Allah tidak pernah membiarkan hamba-hambaNya dalam penderitaan, kesakitan dan kesusahan tanpa mendatangkan solusi untuknya, namun sangat sedikit orang-orang yang dapat tersadarkan dengan kondisi keterlibatan Allah dalam segala wajah kehidupannya.
Banyak manusia lupa bahwa tidak ada kejadian apapun sampai-sampai daun yang kering berguguran dari rantingnya luput dari pengetahuan Allah, sadarlah, Allah selalu melihat hamba-hambaNya dalam beragam peristiwa yang menyertainya, Dialah yang menghidupkan dan Dia pula yang akan mematikannya. Dia yang memberi dan Allah pula yang mengambilnya, susah digantikan kesenangan, miskin ditukar dengan kekayaan, rendah dinaikkan derajatnya. Semua kondisi datang silih berganti, tak ada yang kekal-abadi pada tempatnya melainkan perubahan itu sendiri.

Tiga tahun terasa sangat singkat,1982, tangan-tangan iseng temanku tak akan pernah terasa lagi, tawa dan canda rekan-rekanku tidak lagi dapat menghiasi jiwa gersang kami, suara-suara guru dan tugas-tugas sekolah tidak lagi kami dapatkan. Sepi dan menyendiri dalam menyusun langkah dan rencana, sebagian teman-temanku telah merencanakan jalur dan arah pendidikan selanjutnya.
Aku, termenung dan membisu saat ditanya, kemanakah kaki akan dilangkahkan. Terbayang ibu, bapak dan kakakku yang telah lebih dahulu satu tahun menyelesaikan pendidikan di jenjang yang sama denganku, namun tetap tak melanjutkan.

Setelah ijazah di tanganku, seperti biasa kami pergi salat berjama’ah di Masjid Nurul Iman, Masjid kampoeng kami, selepas salat maghrib, malam itu tak seperti biasanya, bercanda dan bergurau, dengan suara perlahan tapi pasti ibu memanggil-manggil nama kami, bapak duduk membisu, kamipun mendatangi beliau berdua.
Lima sampai tujuh menit –dihadapan ibu dan bapak—kami membisu, lalu suara perlahan keluar dari mulut ayahanda;
“Wahai anak-anakku, ibu (inak) dan bapak (amak) sangat berkeinginan melihat kalian berdua melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, namun apa daya biaya yang tersedia hanya untuk satu orang saja”.

Mendengar kalimat pelan tapi pasti terkeluar dari mulut ayahanda, jantung berdetak semakin kencang, apakah ibu dan bapak akan memilih diriku atau kakakku?.
Lamunan hati, goncangan pikiran terpecah kembali dengan kalimat berikut:
“Siapa di antara kalian yang siap melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi?. Suara terdengar keluar dari bibir bapak kami. Lalu dengan sigap, kami bersamaan mengatakan “aku siap”. Kedua-dua kami memang bercita-cita ingin sekolah jauh lebih tinggi dari orang lain di kampoeng kami dan ingin pula sama-sama bersekolah dengan teman-teman sebaya yang ada di lingkungan kami”.
Mendengar jawaban yang keluar dari mulut kami seirama dalam waktu bersamaan, kali ini kedua orang tua kami yang terdiam, namun suara sepi terpecahkan setelah bapak kami berkata;
“Wahai Anak-anakku, kami bukan tidak ingin melihat kalian menjadi orang-orang pintar, kami ingin juga melihat kalian sama dengan anak-anak lain yang bisa bersekolah tanpa banyak pikiran, namun sayang sekali biaya yang ada hanya cukup untuk satu orang saja”.

Melihat keinginan kami berdua yang begitu kuat dan tidak ada yang mau mengalah, akhirnya bapak (amaq:lombok) berkata:
”Ya, sudahlah kalau tidak ada yang mengalah dan kedua-dua kalian terus berebut ingin sekolah, biar tidak ada yang melanjutkan sekolah, bapak saja yang akan meneruskan sekolah”.
Dengan kalimat tersebut sangat jelas bahwa kami berdua tidak ada yang dapat melanjutkan sekolah. Pupus sudah harapan dan angan-angan, sirna sudah segala cita-cita dan khayalan, ingin menjadi orang berpendidikan terhenti karena nihilnya biaya pendidikan, ya Rabba, bantulah kami agar dapat meneruskan sekolah, seruku dalam hati.

Sepintas keputusan orang tua kami terlihat “konyol” dan “kejam” kenapa beliau tidak menggunakan hak prerogratifnya dan menentukan salah satu dari kami berdua, tapi jika dicermati dengan pikiran yang jernih dan hati yang bersih ternyata keputusan itulah yang terbaik dan teradil sehingga tidak terdapat kecemburuan diantara kami berdua.
Sungguh pembelajaran yang sangat berarti, bahwa perlakuan adil yang ditunjukkan oleh orang tua kami akhirnya dengan –walaupun sedih— suka rela harus kami terima dan menjalaninya dengan ikhlas, ridla dan tawakkal.

Dalam jiwa dan hati yang sedang bersedih terlintas gambaran betapa bahagianya jika orang tua kami memiliki banyak harta, alangkah enaknya menjadi anak orang kaya karena dengan mudah mendapatkan apa-apa yang diinginkannya.
Dalam kesedihan yang bergelanyut di lubuk hati kami, tersirat pandangan nun jauh, bahwa apapun yang diputuskan oleh orang tua itulah yang terbaik dan jika Allah menghendaki, kami akan bersekolah kembali insya Allah, hanya kepada Allahlah kita serahkan segala ketentuan, Dialah yang memiliki rahasia dan hanya Dia lah yang Maha mengetahui yang sudah, sedang dan akan terjadi, bahkan sampai pada cita-cita yang tersembunyi dalam lubuk hati kita sekalipun.

Rencana Allah yang Maha Rahman dan Rahim pastilah jalan terbaik bagi kehidupan hambaNya, manusia boleh berencana namun Allah lah yang menjadi penentu. Tiada daya dan upaya melainkan kekuatan hanya datang daripadaNya. Kunci utama keberhasilan adalah pada seberapa ridla kita dengan ketentuanNya dan seberapa syukur yang kita arahkan dariapada semua nikmat Allah yang telah diberikan.
مَنْ لَمْ يَرْضَ بِقَضَائِيْ وَلَمْ يَشْكُرْ لِعَطَائِيْ فَلْيَطْلُبْ رَبًّا سِوَايَ
Maksudnya:
“Sesiapa yang tiada ridla dengan ketentuanKu dan tidak bersyukur terhadap pemberianKu, maka –silahkan—mencari Tuhan selain diriKu”.

Hadits qudsi inilah yang selalu menjadi pematri keyakinan bahwa apapun yang terjadi pada diri seseorang mesti dikembalikan kepada Allah Azza Wajalla. Syukur terhadap berbagai anugerah Allah adalah perkara berikutnya yang dapat menjadi perajut kesedihan, berapa banyak nikmat Allah yang telah diberikan, namun alfa, lalai hati, kelu lisan dan terpaku tanpa amal.

Baca Selanjutnya

DARI PENULIS

BERITA TERKAIT

IKLAN

TERBANYAK DIBACA

BACA JUGA