Ibu hamil atau ibu yang sedang menyusui pada bulan suci Ramadhan adalah perempuan kuat dan luar biasa. Disaat dalam keadaan lemah karena menggendong bayinya didalam perut, atau karena memberikan air susunya kepada anaknya, mereka masih kuat untuk bertahan puasa. Tentu ganjaran pahalanya berlipat ganda dibanding dengan keadaan puasanya orang normal (tidak hamil atau tidak menyusui). Karena amal tergantung jerih payah dalam melakukannya. Semakin berat amal tersebut, maka ganjarannya pun semakin besar.
Namun, dibalik beratnya puasa orang hamil dan menyusui, mereka juga diberikan keringanan dalam menjalankan ibadah puasa. Mereka dibolehkan untuk memilih antara puasa atau tidak berpuasa dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut :
1. Apabila dia membatalkan puasanya, atau tidak berpuasa karena takut bagi kesehatan dirinya, maka wajib baginya mengqhada’ puasa yang ditinggalkannya saja.
2. Apabila dia tidak berpuasa atau membatalkan puasanya karena takut terhadap kesehatan dirinya dan anaknya, atau takut terhadap kesehatan anaknya saja, maka baginya mengqhada’ puasa yang ditinggalkan dan membayar fidyah.
Keterangan tersebut diatas sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Abdurrahman al-Juzairi:
اَلشَّافِعِيَّةُ قَالُوا اَلْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا بِالصَّوْمِ ضَرَرًا لَا يُحْتَمَلُ سَوَاءٌ كَانَ الْخَوْفُ عَلَى أَنْفُسِهِمَا وَوَلِدَيْهِمَا مَعًا أَوْ عَلَى أَنْفُسِهِمَا فَقَطْ أَوْ عَلَى وَلَدَيْهِمَا فَقَطْ وَجَبَ عَلَيْهِمَا الْفِطْرُ وَعَلَيْهِمَا الْقَضَاءُ فِي الْأَحْوَالِ الثَّلَاثَةِ وَعَلَيْهِمَا أَيْضًا اَلْفِدَيَةُ مَعَ الْقَضَاءِ فِي الْحَالَةِ الْأَخِيرَةِ وَهِيَ مَا إِذَا كَانَ الْخَوْفُ عَلَى وَلَدِهِمَا فَقَطْ
“Madzhab syafii berpendapat, bahwa perempuan hamil dan menyusui ketika dengan puasa khawatir akan adanya bahaya yang tidak diragukan lagi, baik bahaya itu membahayakan dirinnya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja. Maka dalam ketiga kondisi ini mereka wajib meninggalkan puasa dan wajib meng-qadla`nya. Namun dalam kondisi ketiga yaitu ketika puasa itu dikhawatirkan memmbayahakan anaknya saja maka mereka juga diwajibkan membayar fidyah”. (Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-2, h. 521).
Pendapat tersebut diatas juga dikuatkan oleh riwayat berikut :
عن ابن عمر أن امرأة حبلى صامت في رمضان فاستعطشت ، فسئل عنها ابن عمر : فأمرها أن تفطر وتطعم كل يوم مسكينا مدا ثم لا يجزيها فإذا صحت قضت
“Dari Ibnu Umar, ada seorang wanita hamil yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian ia kehausan. Wanita ini bertanya kepada Ibnu ‘Umar, lalu beliau memerintahkan wanita tersebut untuk tidak berpuasa dan membayar fidyah. Kemudian setelah itu, Ibnu ‘Umar tidak menganggap itu cukup, ia memerintahkan jika ia sudah sehat ia wajib meng-qadha” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra, 4/230)
Adapun mengenai ketentuan fidyah yang dikeluarkan adalah sama dengan ketentuan fidyah Puasa pada umumnya yaitu setiap hari yang ditinggal harus mengeluarkan satu mud atau setara dengan 675 gram (6,75 ons) atau lebih bagus lagi bila dibulatkan menjadi 7 ons makanan pokok.
Sebenarnya dalam masalah perempuan hamil dan menyusui ini terdapat beberapa perbedaan pendapat antara madzhab, namun kami tidak merincikan perbedaan tersebut dan fokus kepada madzhab Syafi’i, biar memudahkan dalam memahami masalah ini.
Wallahu A’lam
Fath