OBESITAS BERAGAMA DAN PERAN AKAL DITENGAH PANDEMI COVID-19 OLEH :SYAHRANI

OBESITAS BERAGAMA DAN PERAN AKAL DITENGAH PANDEMI COVID-19 OLEH :SYAHRANI

Seperti yang kita ketahui bersama sampai saat ini, wabah Covid-19 atau virus corona menjadi pandemic bagi seluruh dunia, khususnya Indonesia. Sebut saja Italia menjadi negara dengan korban meninggal tertinggi, disusul China, dan Iran. Amerika Serikat (AS) tercatat sebagai negara dengan kasus covid-19 terbesar di dunia melampaui China dan Italia.

Berdasarkan data yang dihimpun pemerintah hingga pukul 12.00 WIB, Senin, ada penambahan 395 kasus baru Covid-19. Dengan demikian, total kira-kira ada 11.587 kasus positif Covid-19 di Indonesia, dengan korban meninggal pun terus bertambah setiap hari.
Negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim lainnya seperti Arab Saudi juga mengalami kenaikan kasus covid-19. Begitu juga Qatar, Suriah, hingga Palestina. Sebenarnya bagi kaum Muslim, munculnya wabah seperti pandemi covid-19 ini bukan hal baru,walaupun dulu namanya bukan wabah corona covid-19 akan tetapi persis sama bahwa ada wabah yang mematikan juga. Dalam banyak literatur dan dari sejarah, Islam sudah memberikan tuntunan di kala menghadapi wabah.
Nabi Muhammad SAW mengatakan jika dalam suatu wabah, mereka yang ada di daerah itu jangan keluar dari wilayah itu. Mereka yang ada di luar wilayah itu, jangan datangi tempat wabah itu. Dalam istilah sekarang ini dikenal sebagai lockdown atau karantina, baik semi-lockdown maupun lockdown total.

Akan tetapi Indonesia dalam hal ini tidak menggunakan istilah tersebut ketika menuangkan kebijakannya, yaitu Indonesia menyebutnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSSB). Kebijakan demikian diberlakukan dibeberapa provinsi di Indonesia atas permohonan wilayah dan atas persetujuan Menteri Kesehatan RI dengan mengacu pada kriteria yang sudah di tentukan.
Apapun istilah yang digunakan pada intinya adalah untuk kepentingan kita bersama, sebagai bentuk usaha untuk memutus mata rantai menyebaran covid-19 ini. Kendati pun kebijakan ini menjadi kebijakan yang menimbulkan pro dan kontra tetapi penulis tidak akan mengurai hal demikian di artikel ini. Penulis lebih tertarik pada persoalan sosial keagamaan yang terkadang menimbulkan gejolak tersendiri dalam menyikapi kebijakan covid-19 ini.

Ditangah pandemi Covid-19 terdapat sebagian umat beragama mengalami obesitas keberagamaan dan terkadang lupa dengan akalnya sendiri, kenapa penulis mengatakan demikian karena seperti kita lihat bersama dalam kondisi seperti masih saja ada yang tidak mematuhi himbauan-himbauan umara dan ulama terlihat memaksakan ibadah diluar rumah; shalat lima waktu, taraweh, tadarusan dimesjid, mengaktifkan beberapa kegiatan majelis yang notebenenya akan mengumpulkan banyak orang, yang bisa jadi penyebab tertularnya penyakit Covid-19. Oleh karenanya kesadaran terhadap tujuan dan peran akal dalam beragama menurut penulis menjadi sangat penting untuk di uraikan di artikel ini agar kita benar-benar mampu menemukan esensi beragama yang sesungguhnya.

Menghadapi Covid-19
Sejauh yang kita ketahui bersama dalam konteks menghadapi pandemi Covid-19 ini, beberapa pakar kesehatan sudah menganjurkan sekian banyak langkah-langkah untuk membentengi seseorang dari terjangkitnya virus corona ini seperti mencuci tangan dengan benar, menggunakan masker, menjaga daya tahan tubuh, tidak pergi ke wilayah atau negara yang terjangkit, menghindari keramaian (social distancing, physical distancing), menghindari kontak dengan hewan yang berpotensi menularkan coronavirus, dan menurut hemat penulis selain hal diatas adalah kita juga perlu menjaga ketahanan fisik dan mental.

Paraagamawan pun tidak ketinggalan untuk memberikan sebuah himbauan dalam menghadapi covid-19 ini, seperti yang termuat dalam naskah edaran tentang “Tuntunan Ibadah Dalam Kondisi Darurat Covid-19” yang di wakilkan oleh kelompok organisasi atau lembaga keislaman terbesar di Indonesia sebut saja MUI, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama. 

Terkait pelaksanaan ibadah di bulan Ramadhan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan surat edaran. Surat edaran tersebut bernomor 3953/C.I.034/04/2020 dan ditandatangani pada 3 April 2020. Dalam edaran ini, PBNU mengimbau agar pelaksanaan salat tarawih dan Idul Fitri dilaksanakan di rumah masing-masing selama masih dalam pandemi Covid-19. Begitu juga Muhammadiyah yang isinya persis sama, menghimbau agar pelaksanaan salat tarawih dan Idul fitri dirumah sampai waktu pandemi ini berakhir.
Setelah kita membaca beberapa surat edaran yang berisi tentang cara menghindar dari penyebaran corona virus, sebagai umat beragama Islam meyakini bahwa hal demikian adalah sebuah bentuk ikhtiar bersama kemudian menyerahkannya kepada Allah Swt. Penting juga kita meyakini bahwa Allah Swt mempunyai andil dalam penyembuhan penyakit ini, sebagaimana Al-Qur’an mengabadikan dan mengukuhkan kebenaran ucapan Nabi Ibrahim;
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku (QS. Asy-Syu’ara: 80)

Nabi Ibrahim melakukan sebuah transpormasi pemikiran yang sangat fundamental untuk diaplikasikan hingga kini, kekuatan kepercayaan dan doa yang tidak dapat disepelekan. Kekuatan doa seseorang yang beriman akan merasa lega, puas hati dan tenang karena dengan dengan demikian kita akan merasa bersama Allah Swt terus menerus dalam kondisi apapun. Karena orang-orang beriman meyakini bahwa Dia-lah yang menciptakan dalam bentuk terbaik, lalu Dia pula yang melimpahkan kenikmatan makanan dan minuman, dan apabila suatu penyakit menimpa, maka Dia pula yang menyembuhkan dan menyehatkan. Dengan demikian jika keyakinan seperti ini tertancap dalam masing-masing sanubari orang-orang beriman maka ia akan merasakan ketenangan, kekuatan batin dalam menghadapi segala bentuk kondisi krisis segimanapun.
Pemahaman dan Tujuan Tehadap Konstelasi Beragama
Agama dan keberagaman memang berkaitan erat dengan kegiatan manusia. Sedangkan kegiatan manusia dapat bermacam-macam dengan mempertimbangkan kondisi dan situasi pelaku serta makna teks lahir dari dari ketentuan hukum yang bisa jadi berbeda antara seseorang di satu tempat dengan tempat lain.

Sekian banyak yang teks agama yang dipahami dengan makna dan ketetapan hukum tertentu yang kini berubah karena adanya faktor baru yang belum terjadi pada masa itu. Ketahui bersama dalam sejarah pemikiran keagamaan hingga kini mengalami perkembangan dan bahkan pembaharuan pemikiran keagamaan, karena agama Islam menyatakan bahwa ajarannya harus selalu selaras dengan setiap waktu dan tempat.
Pembaca mungkin sudah tahu bahwa teks-teks keagaman (al-Quran dan sunnah) terbatas jumlahnya dan pastinya tidak akan bertambah dan berkurang, sedangkan kasus-kasus yang terjadi dan yang dihadapi manusia sangat banyak dan setiap hari komplek dan akan bertambah. Dengan demikian kita mengenal istilah ijtihad sebagai upaya dalam menetapkan tuntutan agama untuk merespon kasus-kasus terkini,yang pasti tentunya juga tidak sembarangan ada kaidah-kaidah dan tetap berpegang pada teks-teks keagamaan yang telah dirumuskan oleh para ahli bukan sekedar membaca kitab lama apalagi bertanya pada mbah google, karena bisa jadi informasi yang dihimpun belum tentu sesuai dengan kondisi masyarakat dan waktu yang sedang dihadapi. Dalam hal ini pemahaman terhadap teks-teks keagaman akan terus mengalami pembaharuan sesuai kondisi dan zamannnya.

Sebagai contoh shalat jumat yang ditangguhkan diganti dengan shalat zuhur ini adalah hal yang baru diberlakukan di Indonesia bahkan mungkin di dunia dan berimbas pada umat khususnya yang beragama Islam, untuk merespon hal tersebut beragam sikap yang mereka lontarkan yang kadang menimbulkan “kegaduhan” sendiri. Hal demikian disebabkan oleh kedangkalan pengetahuan yang semerta-merta menjadkan teks agama satu-satunya permukaan tanpa melihat kondisi dan situasi yang dialami saat ini.
Ketetapan hukum tentang penangguhan pelaksanaan shalat jumat ini misalnya, bukan saja ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia yang didalamnya terdapat ulama-ulama yang kompeten dibidangnya masing-masing. Demikian pula bukan hanya Indonesia bahkan ulama-ulama diseluruh negeri Islam juga berdiskusi dan menetapkan hukum yang sama. Lalu siapa kita?, yang sedikit-sedikit merasa paling benar sendiri sehingga memaksakan diri untuk tetap shalat jumat dimesjid.
Ketetapan diatas tentu berdasarkan kaidah umum yang dinamai maqasid asy-syariah yang mngandung penegasan bahwa semua aktivitas dan ibadah tanpa terkecuali dilaksanakan dalam rangka menjaga agama, akal, diri, keturunan dan harta. Secara sederhana apa pun yang potensial mengganggu kelima hal ini mesti dihindari terlebih dahulu melebihi kepentingan ibadah. Karena itu pula, ulama menyajikan sebuah pakem “menghindari bahaya selalu lebih diproritaskan dari pada mencari maslahat.”
Kita belajar dari Nabi Muhammad Saw yang langsung di contohkan oleh beliau, ketika beliau menegur seorang sahabat karena membiarkan ontanya tidak ditambat dengan dalih tawakkal kepada Allah, sementara ia masuk masjid untuk shalat. Kita juga teringat hadits beliau yang berbunyi; “Jika kalian mendengar kabar tentang merebaknya wabah tha’un di sebuah wilayah, janganlah kamu memasukinya. Dan jika kalian tengah berada di dalamnya, maka janganlah kamu keluar darinya”, (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Sekelumit uraian diatas menunjukkan bahwa kita sebagai umat beragama harus ikit andil dalam memecahkan masalah ini, bukan malah bersikukuh dalam mempertahankan pendapat masing-masing yang dapat membahayakan orang lain.

Obesitas Beragama
Obesitas yang penulis maksud adalah berlebih-lebihan dalam beragama (ghuluw) tanpa mengedepankan kepentingan bersama. Virus Covid-19 yang melanda dunia dan Indonesia khususnya seharusnya menjadi sebuah kesadaran bersama untuk mendahulukun kemanusian daripada keberagamaan dengan memperkokoh kemanusiaan kita karena kita semua sama-sama berasal dari satu keturunan Adam dan Hawa.
Kita seharusnya tidak lagi menyekat diri dengan keyakinan keagamaan, karena Allah menjadikan kita terdiri dari lelaki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk “saling mengenal”, artinya dalam kondisi seperti ini kita diharuskan untung saling tolong menolong bergandengan tangan membantu dan memproritaskan kepentingan bersama agar tidak tertular Covid-19. Perlu kita sadari bahwa kemanusiaa tidak membatalkan persaudaraan seagama, kita dapat bekerjasama dan saling bantu kendati pun kita beda agama.
Dengan pemahaman agama yang baik, tanpa memaksakan dan berlebihan dalam beragama kita dapat mematuhi umara dan ulama dengan tetap melakukan ibadah dirumah saja sesuai keyakinan dan kepercayaan yang kita anut. Karena dalam konteks maqoshid syari’ah telah memunculkan dinamika berfikih yang sangat produktif untuk segala situasi. Fiqih kemudian sangat lentur jika berhadapan dengan situasi yang berbeda, tanpa mengurangi pahala dan kualitas ibadah sedikitpun.

Adapun sebab-sebab munculnya sikap ghuluw ini bermacam-macam, di antaranya:
Kebodohan dalam agama
Ini meliputi kebodohan terhadap tujuan inti syariat Islam dan kaidah-kaidahnya serta kebodohan dalam memahami nash-nash al-Quran dan Sunnah. Sehingga kita lihat sebagian kelompok pemuka agama cenderung overdosis, mereka memiliki semangat akan tetapi masih dangkal pemahaman dan ilmunya terjebak dalam sikap ghuluw ini.
Taqlid (ikut-ikutan)
Taqlid hakikatnya adalah kebodohan. Termasuk di antaranya adalah mengikuti secara membabi-buta adat istiadat manusia yang bertentangan dengan syariat Islam serta mengikuti tokoh-tokoh adat yang menyesatkan. Kebanyakan sikap ghuluw dalam agama yang berlaku di tengah-tengah masyarakat berpangkal dari sebab ini.

Mengikuti hawa nafsu
Timbangan hawa nafsu ini adalah akal dan perasaan. Sementara akal dan perasaan tanpa bimbingan wahyu akan bersifat liar dan keluar dari batasan-batasan syariat.
Berdalil dengan hadits-hadits lemah dan palsu
Hadits-hadits lemah dan palsu tidak bisa dijadikan sandaran hukum syar’i. Dan pada umumnya hadits-hadits tersebut dikarang dan dibuat-buat bertujuan menambah semangat beribadah atau untuk mempertebal sebuah keyakinan sesat.
Oleh karena itu sikap kita dalam menyikapi hal demikian, kita perlu merekontruksi pemahaman kita terhadap teks-teks agama, agar kita tidak tergolong kelompok manusia yang bergama secara membabi buta, yang kemudian dalam konteks covid-19 ini bukan malah membantu menyelesaikan pandemi. Jika kita masih memaksakan diri untuk tetap beribadah diluar rumah bisa jadi kita yang sesungguhnya menjadi courier dalam penyakit ini.

Beragama Dengan Akal Sehat
Beragam peristiwa terjadi di muka bumi ini menuntut kita untuk tetap menggunakan akal sehat sebagai basis dan anugerah yang tidak ada tandinganya. Akal sehat adalah pembeda dari makhluk ciptaan Allah yang lain, manusia sehat dan eksis karena akal sehatnya.
Demikian dalam merespon beragam isu yang muncul khususnya di Indonesia, lihat saja kondisi sosial politik beberapa tahun terakhir, belum lagi berita hoax beredar bak angin sepoi-sepoi berhembus kapan pun dimanapun ia mau. Apalagi saat ini, Indonesia ditimpa musibah (covid-19) yang tak bisa dianggap biasa-biasa saja, tak jarang sekelompok umat beragama menghubungkannya ke arah yang berhubungan dengan agama. Oleh karenanya jika kondisi yang menimpa Indonesia ini adalah dianggap sebagai cobaan dari Allah Swt maka kita perlu tetap menggunakan akal sehat dalam meresponnya, supaya tidak mudah untuk dihasut dan diperdaya.
Ada pepatah arab yang berbunyi al-dinu huwa al-aql, agama adalah akal. Dalam pengertian ini umumnya pemuka agama menjelaskan bahwa beragama membutuhkan akal, agar manusia tidak terjatuh dalam kepercayaan buta yang bisa menyesatkan. Yang membedakan manusia dari hewan-hewan lainnya adalah akal yang dimilikinya. Akal adalah lambang kemajuan dalam proses evolusi makhluk-hidup yang panjang. Akal adalah bentuk non-fisik dari otak.
Dalam konteks beragama diperlukan peran akal secara maksimal agar kita tidak terjun bebas dalam mengaktualisasikan ajaran agama.seperti kata pepatah Arab yang di atas: agama adalah akal. Tidak ada agama bagi yang tak berakal. Akal adalah pembimbing manusia yang paling alamiah. Tanpa akal, agama tak punya makna.
Dalam konteks pandemi Covid-19 ini, kita berharap akal sehat lebih di dahulukan ketimbang ritual agama yang komunal karena apa jika kita sebagai umat beragama terus memaksakan diri secara tidak langsung kitalah sebenarnya yang membantu virus corona menyebar ke orang lain.
Oleh karenanya bagi Muhammadiyah dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara beragama harus dengan menggunakan akal sehat, agar menghasilkan pembaruan (tajdid), inovasi, kemajuan, kesejahteraan, dan keadilan. Beragama dengan akal sehat menghendaki pemikiran rasional dengan berpikir cerdas dan waras, sehingga pesan-pesan moral ajaran agama efektif menyinari dan memandu jalan kehidupan manusia yang baik, benar, dan bermaslahat untuk orang banyak.

SYAHRANI
*Ceo-Founder Indonesia Global Network
*Aktivis Institute of Democracy and Education Jakarta
*Pemerhati Sosial Politik Daerah
*Mahasiswa Magister Doble Degree di Jakarta
Email: Syahrani931@gmail.com

Baca Selanjutnya

DARI PENULIS

BERITA TERKAIT

IKLAN

TERBANYAK DIBACA

BACA JUGA