Penulis Siti Ainna
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Semester 3, STAI AL-AQIDAH AL-HASYIMIYYAH JAKARTA
Sinar5News.Com – Jakarta – Mahkum Fiih adalah perbuatan-perbuatan orang (mukallaf) yang dibebani suatu hukum (perbuatan hukum). Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan titah syari’ (Allah dan Rasul-Nya), yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntunan meninggalkan suatu pekerjaan, memilih suatu pekerjaan, dan bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhshah, sah, serta batal.
Jadi, bisa didefinisikan bahwa mahkum fiih itu merupakan hasil perbuatan manusia yang mukallaf erat hubungannya atau bersangkutan dengan hukum syara’ agama Islam.
Misalnya perbuatan manusia yang mukallaf berhubungan dan berkaitan dengan aturan agama Islam, antara lain:
1. Masalah menyempurnakan janji bagi mukallaf, adalah mahkum fih, sebab bertaliandengan ijab, maka hukumnya adalah wajib.
2. Menyangkut masalah tidak dilaksanakan terhadap manusia, adalah mahkum fih, dan bertalian dengan ketentuan Allah dalam firman-Nya:
وَلاَ تَقْتُلُو النَّفْسَ
Artinya:“Janganlah kamu membunuh manusia.”
3. Menyangkut perbuatan manusia, mengenai mengerjakan puasa atau tidak melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau orang musafir/dalam prerjalanan jauh, maka masalah itu adalah mahkum fih, bertalian dengan masalah ibadah. Bisa diartikan bahwa semua perbuatan manusia yang mukallaf erat kaitannya dengan hukum syara’, dan semua itu disebut Mahkum Fih dalam hukum Islam.
Telah menjadi ijma’ seluruh ulama bahwa tidak ada pembebanan selain pada pembuatan orang mukallaf. Oleh karena itu, apabila syar’i mewajibkan atau mensunnahkan suata perbuatan kepada seorang mukallaf, maka beban itu merupakan perbuatan yang harus dikerjakan. Demikian juga apabila syar,i mengharamkan atau memakruhkan sesuatu, maka beban tersebut juga merupakan perbutan yang harus ditinggalkan.
Perbuatan yang dibebankan (mahkum bih) kepada orang mukallaf itu mempunyai tiga syarat sebagai berikut:
1. Perbutan itu diketahui oleh orang mukallaf secara sempurna, sehingga ia dapat mengerjakannya sesuai dengan tuntutan,
2. Hendaklah diketahui bahwa pembebanan itu berasal dari yang mempunyai kekuasaan memberi beban dan dari pihak yang wajib diikuti segala hukum-hukum yang dibuatnya,
3. Perbuatan itu adalah perbuatan yang mampu dikerjakan atau ditinggalkan, sehingga tidak dibenarkan memberi beban yang mustahil untuk dilaksanakan.Manusia tidak diperintahkan mengerjakan perbuatan yang tidak muungkin (mustahil) dapat dilakukan, sebagaimana firman Allah swt.
Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupanya”. (QS.Al-Baqarah: 286).
Namun demikian, didalam al-Qur’an dan al-Hadits terdapat keterangan yang menuntut suatu perbuatan diluar kemampuan manusia, seperti berjihat dengan jiwa dan harta, atau bersabar dan tidak suka marah.Bahkan seluruh ibadah yang diperintahkan oleh Allah akan teras berat dan beban bagi manusia yang tidak mengenal hakikat hidup ini. Sebagaimana Rasullullah bersabda:
Artinya:
“Surga diliputi oleh hal-hal yang dibenci, sedang neraka diliputi oleh hal-hal yang menyenangkan”.
Apa itu Mahkum Alaih?
Mahkum ‘alaih ialah orang-orang mukallaf yang dibebani hukum.
Adapun syarat-syarat sahnya seorang mukallaf menerima beban hukum itu ada dua macam, yakni:
1. Sanggup memahami khitab-khitab pembebanan atau tuntutan syara’ yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain. Oleh karena itu, orang yang tidak memiliki kemampuan untuk memahami khitab syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif (pembebanan),
2. Mempunyai kemampuan menerima beban. Dasar pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.
Kemampuan seseorang untuk menerima kewajiban dan menerima hak oleh para ulama uhuliyyun dibagi kepada dua macam, yaitu:
a. Ahliyatul wujub, yaitu kepantasan seseorang untuk memberi hak dan kewajiban. Kepantasan ini ada pada setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, kanak-kanan maupun dewasa, sehat maupun sakit. Semua orang mempunyai kepantasan diberi hak dan kewajiban, sebab dasar dari kepantasan ini adalah kemanusiaan. Artinya, selama manusia itu masih hidup, kepantasan tersebut tetap dimiliknya,
b. Ahliyatul ada’ (kemampuan berbuat) ialah kepantasan seseorang untuk dippandang sah segala perkataan dan perbuatannya. Misalnya, bila mengadakan suatu perjanjian atau perikatan, tindakan itu adalah sah dan dapat menimbulkan akibat hukum, sehingga masa datangnya aliyatul ada’ menurut syara’ adalah bersamaan dengan tibanya usia taqlif yang dibatasi dengan aqil dan baligh.
Ahliyatul ada’ terbagi atas dua macam, yaitu:
1. Ahliyatul ada’ sempurna (tam) adalah ketika seorang yang telah berakal mencapai umur dewasa (baligh)
2. Ahliyatul ada’ tidak sempurna (naqish) yaitu anak yang cakap atau semisalnya dinisbahkan untuk muamallah dan perikatan.
Namun demikian, ada beberapa orang yang sudah dewasa dan pantas untuk melaksakan hak dan kewajiban tetapi kondisi mereka tidak memungkinkan untuk melaksanakan semua itu, dikarenakan ada hal-hal yang menghalangi dan kondisi tersebut disebut dengan awaridh ahliyah.
Ahwaridh ahliyah ada dua macam, yakni samawiyah dan kasabiyah.
Samawiyah adalah hal-hal yang berada diluar usaha dan ikhtiar manusia. Yang termasuk kedalam halangan ini seperti keadaan belum dewasa, Keadaan tidur, Pingsan, Lupa, Sakit, Menstruasi, Nifas, dan Meninggal dunia.
Selanjutnya ada halangan Kasabiyah. Dan yang termasuk kedalam halangan ini seperti Boros, Mabuk, Bepergian, Lalai, Bergurau (main-main), Bodoh (tidak mengetahui), Terpaksa (ikrah).