Kisah Inspiratif : Ahli zahir & bathin Nabi Musa & Nabi Khidir

Kisah Inspiratif : Ahli zahir & bathin Nabi Musa & Nabi Khidir

-1-

Ahli zahir & bathin
Nabi Musa & Nabi Khidir

Al-Qur’an mencatat bahwa Nabi Musa dan Nabi Khidir Alaihima al-Salam telah melakukan pengajaran dan pembelajaran eksperimental. Metode dialogis yang digunakan sebagai pendekatan rasional dalam menemukan sebuah jawaban terhadap perbedaan keilmuan yang Allah anugerahkan kepada para NabiNya.

Nabi Musa diperintahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menjalani tarbiyah melalui perjalanan yang cukup melelahkan dengan Nabi Khidir. Dalam perjalanan mereka terdapat ragam peristiwa yang dapat dijadikan materi pembelajaran mereka yaitu pengetahuan zahir dan ilmu bathin.

Nabi Musa bertemu Nabi Khidir

Musa :Wahai Khidir, izinkan aku mengikutimu agar mendapatkan pengajaran darimu.
Khidir : Musa, kamu tidak akan sanggup mengikutiku
Musa : Insya Allah, aku sanggup mengikuti kemanapun arahmu melangkah
Khidir : Baik, jika engkau mau mengikuti, jangan pernah bertanya terhadap apa-apa yang kamu saksikan
Musa : Baik, insya Allah

Dalam Perjalanan
Nabi Khidir mengajak Nabi Musa menaiki perahu (kapal kecil) yang dikendalikan seorang Nahkoda. Belum begitu lama kedua Nabi ini duduk di atas perahu, Nabi Khidir mulai membuat lubang di dalam kapal, menyaksikan perbuatan Khidir yang dapat menjadikan perahu rusak dan menenggelamkan semua isinya termasuk mereka yang ada di atas perahu, Nabi Musa tidak sabar dan lupa akan janjinya untuk tidak pernah bertanya apapun yang dilihatnya.

Wahai Khidir, mengapa engkau melobangi perahu ini?, bukankah ini perbuatan yang tercela dan bukankah akan meneggelamkan kita semua?. Mendengar kritikan Nabi Musa tersebut, lantas Nabi Khidir menjawab; bukankah aku pernah katakan padamu wahai Musa, engkau tidak akan pernah dapat mengikutiku?. Sadar akan kesalahannya, Musa berkata; maafkanlah saya, saya tidak akan pernah bertanya lagi terhadap apapun yang engkau lakukan.

Sesampainya di darat, mereka berdua melalui sekumpulan anak-anak kecil sedang asyik bermain, lalu Nabi Khidir mendekati salah seorang dari anak-anak tersebut lalu memukulnya dengan keras sehingga anak itu terbunuh. Melihat kejadian super aneh dan tidak dapat dibenarkan oleh syara’ maupun akal sehat, Musapun menghampiri Khidir dan berkata, wahai Khidir mengapa engkau membunuh anak kecil itu, ini perbuatan melawan syara’, membunuh adalah perbuatan yang sangat tercela. Melihat dan mendengar apa yang dikatakan Musa tersebut, lantas Khidir mengatakan, bukankah aku pernah katakan bahwa engkau tidak akan pernah dapat mengikutiku?. Sadar akan perilaku menyalahi janjinya, Musa pun berkata; Wahai Khidir, maafkan aku dan jika satu kali lagi aku bertanya padamu, maka cukuplah, engkau telah memberikan tiga kali kemaafan.

Lalu merekapun meneruskan perjalanannya, sehingga sampailah di sebuah desa. Mereka minta kepada para penduduk untuk menjadikan mereka tamu sehingga dapat beristirahat, namun merekapun enggan menjadikan kedua nabi ini menjadi tamu-tamu mereka.

Perjalanan dilanjutkan hingga sampai dipinggir kota dan terlihat disuatu pojok tembok yang miring hampir roboh, lalu Nabi Khidir mendekati dan meminta Nabi Musa untuk bersama-sama memperbaiki tembok tersebut. Lalu Nabi Musa berkata; ya Khidir, apa gunanya kita memperbaiki tembok ini, masyarakatnya enggan menjadikan kita tamu. Mendengar komentar Nabi Musa tersebut, lalu Nabi khidir berkata;” inilah akhir perjumpaan dan kebersamaan kita, namun sebelum berpisah saya akan jelaskan makna-makna bathin dari apa yang terjadi selama perjalanan kita.

Adapun perusakan kapal (perahu), saya lakukan karena pemiliknya seorang faqir dan khawatir akan dirampas oleh perompak di ujung pantai ini, maka saya cacatkan dia agar selamat dari perampasannya.

Adapun anak kecil yang sedang bermain, lalu saya membunuhnya karena dia adalah anak oranh solih, jika dia tumbuh dewasa, ia akan menjadi lari dari ajaran bapaknya dan dapat menjadikan bapaknya yang soleh disiksa Allah, maka agar jangan tumbuh dan besar kemudian menyalahi ajaran bapaknya sayapun membunuhnya.

Sedangkan mengenai tembok yang hampir rusak, saya diminta Allah untuk mendirikan dan memperkokohnya kembali, karena di bawah tembok tersebut tersimpan harta-benda anak yatim, jika temboknya roboh, harta tersebut akan tetlihat dan diambil oleh orang-orang yang menemukannya hingga dia (anak yatim) itu dewasa.

Pengajaran yang dapat diambil dari kisah tersebut antara lain; Pertama; anjuran untuk selalu mencari ilmu, apalagi kita sadar bahwa ilmu adalah imam (yang mengendalikan) perbuatan seperti dikatakan oleh imam al-Ghazali “al-ilmu imamul amali wal amalu tabiun lahu” (ilmu adalah ikutan dari perbuatan dan perbuatan mesti mengikut apa-apa yang diikuti).

Kedua; seorang guru -sebelum memberikan pengajaran- hendaklah menjelaskan beberapa syarat dan ketentuan yang mesti ditaati oleh setiap penuntut. Ketiga; seorang murid tidak dibenarkan untuk melanggar aturan dan tata tertib yang telah disepakati. Keempat; guru mesti tegas dalam menegakkan aturan dan memberikan sanksi ketika aturan dilanggar

Kelima; tidak semua yang kita lihat secara zohir bertentangan dengan perintah Allah. Keenam; kita mesti menyadari bahwa ilmu yang Allah anugerahkan kepada hamba-hambaNya berbeda-beda. Ketujuh; Jangan terlalu cepat menghukum orang bersalah, karena pengetahuan yang kita miliki tidak pernah sama dengan pengetahuan orang lain, dalam hal ini diperluka tabayyun (klarifikasi). Kedelapan; Seorang guru harus menuntaskan pengajaran, terutama jika berkaitan dengan hal-hal keyakinan dan hukum hakam. Kesembilan; Seorang guru mesti memberikan kesimpulan dari tema pengajaran yang diajarkan agar dapat dipahami dengan sempurna oleh para penuntut. Kesepuluh; Jika perbuatan baik kita ke,balikan kepada Sang Khaliq, namun jika perbuatan buruk, maka kembalikan kepada kita yang melakukan perbuatan tersebut

Baca Selanjutnya

DARI PENULIS

BERITA TERKAIT

IKLAN

TERBANYAK DIBACA

BACA JUGA