OLEH: ABDUL QUDDUS AL MAJIDI (SISWA KELAS 9 SMP PONPES NW JAKARTA)
Sekarang situasinya sudah mulai memanas. Anu saya juga panas. Maksudnya kepalaku yg sudah mulai panas. Pusing lelah gak karuan. Capek tau. Semakin dalam menyelam, maka semakin panas pula suhu kapal selam ini. Sekarang tepat jam 5 pagi. Sudah sejam kami berada di dalam air. Kaki kiriku sudah hilang entah kemana. Kata Alexei, “Saya diam diam ikutin kamu. Kamu bertingkah mencurigakan. Saya ikutin kamu keluar kapal. Saya lihat dari kejauhan ada hiu berjumbai yang mau menyerang kamu. Tapi kamu malah deketin hiu itu. Lalu saya stun pakai alat ini ke hiu itu supaya dia tidak menelan tubuhmu. Setelah hiu itu sudah aku bius, aku bawa kamu ke kapal selam yang kita tumpangi. Tapi maaf kawan, kakimu itu sudah tidak terselamatkan lagi… ” Katanya sambil memelas.
“Luis, kau baik-baik saja kan? Saya takut banget kalo kamu terjadi apa-apa. Dan… Kakimu yang satu lagi kok gak ada ya Luis? ” Tanya Brian penasaran. “Aduh, sakit sekali… ” Rasa sakitku sudah tak tertahankan lagi. Ketika Alexei membalutku dengan perban, kapas dan semacamnya, 2 orang navigator kapal selam itu pun akhirnya angkat bicara.
“Luis, kamu ceroboh si. Lagian siapa suruh kamu keluar asik-asikan sama lumba-lumba di perairan ini. Sukurin kan. Saya sama Jessica ribet nih. Bantuin dikit napa. Menjalankan perintah senior adalah tugas kita, pinter… ” Tegas seorang kru kapal. Selain cantik, dia juga baik. Walaupun dia orang non-muslim, ia sangat peduli terhadap teman-temannya. Ada disaat senang, disaat susah. Itulah dia Fransesca Victoria.
“Tau tuh si Luis. Mentang-mentang mendapat beasiswa dari pemerintah sini, malah asik-asikan dia pergi nyelam ke luar kapal. Kena sialnya kan kamu Luis.” Ungkap Jessica. Dahlah, yang berlalu biarlah berlalu. Walaupun kaki saya sudah tak ada lagi, saya tetap bersyukur kok. “Lain kali saya taatin aturan deh. Orang bilang gak boleh ya gak boleh. Ya beginilah nasib saya yang gak denger nasihat orang.” Sesalku dalam hati. Sebenarnya saya dan Brian bertugas sebagai pengendali oksigen kapal selam ini. Walaupun kami semua mahasiswa baru, kami juga diberikan tugas oleh kakak senior. Kalo yang mengendalikan kapal ini harus yang senior. Karena jujur, saya sendiri gak ngerti cara mengendalikan kapal. Nah, orang yang ngendaliin kapal selam itu ada 2 orang. Yang satunya mengemudikan kapal dan yang satunya lagi siapin torpedo. Jaga-jaga saja kalau ada hewan buas didasar laut, bisa ditembak oleh torpedo itu. Alexei tugasnya agak mudah. Kalo Gillbert lelah ‘nyetir’ kapal, ganti-gantian gitu sama Alexei. Yang nyiapin torpedo itu masih agak gampang dibandingkan ngendaliin kapal. Ngaso dikit gapapalah. Itulah pokoknya. “Btw, coba aja kalo hiu berjumbai itu ditembakin pake torpedo, udah modar tuh ikan. Ya sayangnya, waktu kamu pergi diam-diam dari kapal selam ini, saya malah buntutin kamu yang lagi menikmati pesona air laut. Coba aja kalo saya bilang ke Gillbert untuk ikutin kamu pake kapal selam itu, pasti kakimu masih ada. Yang namanya musibah, kan kita gak tau. ” Ujar Alexei.
“Luis, coba kamu lihat keluar! Ada hewan apa itu? Cobadeh kamu lihat keluar jendela kapal! ” Lamunanku buyar oleh Brian yang saat itu sedang bertugas. Tugasnya selain mengambil oksigen di permukaan, juga harus sering-sering komunikasi dengan seluruh kru kapal. Nanya-nanyain gitu. Misalnya nanyain oksigennya cukup apa enggak, berapa lama lagi sampe ke Palung Mariana, ya pokonya nanyain situasi kapal gitu. Dan seterusnya. Ya intinya harus sering komunikasi. Sayapun harus tetap ‘ngobrol telponan’ dengan yang lain termasuk ke abang senior. Untungnya si Brian O’Conner sedikit meringankan tugas saya. Katanya dia aja yang ngatur oksigennya, saya yang komunikasinya. Gitu si katanya. Tapi boong. Enak banget anda yang istirahat, sementara saya yang capek ngurus itu ngurus ini. Enak aja kamu. Ya enggaklah, bercanda. Dia emang prihatin sama saya. Emang top banget itu temen.
“Wih, hewan apaan tuh? Gede bener tuh hewan. ” Kagumku ke Brian. “Oh, itu namanya gurita pasifik raksasa. ” Jawabnya simpel. Karena dia juga masih sibuk dengan pengaturan oksigen di kapal ini. Jadi ya gak ambil ribet pertanyaan saya tadi. Luis, jangan keluar dari kapal lagi ya? Soalnya kita sekarang sedang memasuki zona abisal.” Katanya dengan nada yang sedikit ngegas. “Oh, jika saya keluar dari sini tanpa peralatan selam khusus laut dalam, maka saya pun akan remuk hanya dalam 2 detik. Saya juga gak bisa melihat apa-apa karena di laut dalam itu seperti tengah malam kan, Brian? ” Jawabku panjang. “Nah pinter kamu Luis. Jangan keluar sembarangan lagi ya, oke? ” “Iya deh bang Brian yang ganteng. ” Ucapku. “Ah, kamu bisa aja deh Luis. “
Di laut dalam, khususnya di Palung Mariana ini memang sangat gelap. Untungnya ada alat penerang di kapal ini, sehingga kami semua bisa melihat keindahan di laut dalam. Suara gelembung dan arus air sangat jelas terdengar, membuat kami semakin penasaran. Ada beberapa hewan aneh yang bergerak melewati kapal selam yang kami tumpangi. Salah satunya snailfish (Liparidae). Tubuhnya yang mungil dan bercahaya biru itu membuatku semakin pengen menangkapnya. Tapi janganlah. Karena ya bahaya keluar dari kapal. Tekanannya sangat tinggi hingga 1000 atmosfer.
“Luis, nih Alexei mau ngomong ke kamu. ” Ia pun ngasih alat tersebut ke saya. “Halo Alexei, ada apa? ” Tanyaku polos. “Oh Luis, kamu baik-baik saja kan? Saya khawatir banget kali kamu itu kenapa-napa. Kakimu itu masih sakit gak? ” Tanya Alexei penasaran. Aku jawab, “Udah mendingan si. Pendarahannya udah mulai berhenti. Kan kamu sendiri yang bawain saya ke ruangan asrama yang ada di kapal selam ini. Masa kamu lupa si? Eh Alexei, kita sudah berapa lama di Palung Mariana ini? Tanyaku. Ia menjawab, ” Sudah sejam semenjak kamu ngeyel dan keluar tanpa izin. Dan sekarang sudah jam 5 pagi lewat 10 menit. Kalo dihitung-hitung nih, 20 menit keberangkatan kita. Nah, terus kamu keluar itu kan, aku obatin luka kamu dan aku bawa kembali ke kapal selam ini. 40 menit kemudian kita sampai di sini, di Palung Mariana. Ditambah 10 menit tugas dari pimpinan organisasi Oseanografi Scripps. Kata beliau kita ditugaskan untuk mengambil partikel dan sampel tanah di dasar palung ini. Jadi tinggal 20 menit lagi untuk meneliti misteri di Palung Mariana ini. Kamu tau Burj Khalifa kan? Bangunan tertinggi di dunia? Burj Khalifa aja kalah saing dibandingkan palung ini. Burj Khalifa saja tingginya 828 meter yang ada di Dubai UAE itu. Sementara palung ini dalamnya 10.927 meter. Coba bayangkan, jika palung ini ditumpahkan Allah ke permukaan bumi, pasti kita semua sudah tidak bisa apa-apa lagi. Ditambah lagi suatu saat nanti akan ada hujan meteor, tamat riwayat kta, Luis. Bandingin lagi dah sama gunung Everest dengan palung ini, yang tingginya 8.849 meter. Sama Grand Canyon di Utara Arizona Amerika Serikat, cuma 800 meter tingginya. Kalah saing sama Palung ini. Jadi kamu sama saya nih, sebagai orang Islam. Kita harus persiapkan diri kita dulu, dengan beramal, berbuat baik, bakti sama guru. Saya tau, kamu itu lulusan Indonesia ditambah lagi dapat beasiswa FULL buat belajar disini. Jadi kamu jangan ngeyel lagi ya Luis? Kalo mau apa-apa bilang dulu ke saya kalo nggak ke Gilbert. Saya mau jadiin kamu lulusan yang membanggakan bagi negara kamu, khususnya untuk organisasi bawah laut Oseanografi Scripps.” Ceramah panjang kali lebar kali tinggi oleh Alexei Vyatcheslavovna. Walaupun namanya agak aneh dan dia orang Rusia, dia tetap peduli sama saya. Seperti kata pepatah, Berakit-rakit kehulu, berenang-renang ketepian. Pacarmu udah ke penghulu, kok kamu masih sendirian. Nggaklah, maksud saya bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Itulah pokoknya.
“Udah dulu ya Luis, aku masih sibuk dengan tugas kapal, kamu yang serius ya belajar disini.” “Eh Alexei, emang ada monster ya di Palung Mariana? ” Lalu, ia jawab, “Mungkin saja. Justru itu kita disuruh menyelam lagi kesini. Oh iya, saya denger-drnger nih. Kata si Abigail dia nemu surat. Katanya surat itu dikasih sama tetangganya. Kata tetangganya ini surat dari kakek saya yang pernah ke Palung Mariana pada tahun 1960. Nama kakek saya Jacques Piccard. Disitu ditulis pengalaman kakeknya yang aneh pas dia menyelam kesini. Kata tetangganya kakeknya. Eh, gimana ya? Jadi si Abigail itu punya tetangga, tetangganya itu adalah cucunya dari Jacques Piccard. Kakeknya si kakeknya itu udah lama meninggal. Dia mewariskan surat itu ke anaknya tetangga saya. Ngerti kan? Katanya di surat yang dikasih sama cucunya itu. Abigail bacain isi surat itu ke saya. Katanya si, surat ini hal yang kurang penting. Karena hal ini belum terbukti kebenarannya oleh ilmuan. Nah, di surat itu ditulis, bahwa kakeknya melihat sebuah cakram yang terus mengikutinya. Setelah kakeknya lihat lagi di Palung ini, dia tiba tiba pergi menghilang entah kemana. Datang tiba-tiba hilang tak tau kemana. Gitu kata Abigail. Gak tau juga itu surat apa hoax apa beneran. Sampe sekarang pun misteri cakram itu belum terungkap. ” Lanjutnya
Jadi saya membuat kesimpulan, karena saya telah mengalami hal itu. Semakin kita dalami maka semakin membuat kita penasaran. Semakin diteliti maka akan membuat saya semakin pusing. Kami semua juga pusing. Saya tidak yakin apakah penjual galon dapat bertahan dengan situasi seperti ini. Mungkinkah didalam sini ada makhluk supranatural? Entahlah. Yang jelas sampai sekarang belum terbongkar misteri apakah yang ada di Palung Mariana. Semoga saya (Muhammad Luis Maulana) dan kalian bisa belajar banyak dari kisah hidup yang saya alami. Jangan patah semangat! Dan terus berkarya! Dan taati gurumu, jangan ngeyel!
“Akhirnya selesai juga nih video. ” Saya berkata ke Anggi. “Video apaan Majidi? ” Anggi nanya ke saya. Saya jawab, “Ini video petualangan Luis menyelami Palung Mariana… ” “Oh, gak seru ah film gituan. Mendingan kita mabar daripada nonton kaya begitu. ” Kata Anggi. “Terserah kamu ajalah Anggi. Yang penting kau bahagia maen HP non stop. Saya lebih suka nonton video edukasi daripada mabar Nggi. “