MEMAHAMI FIQIH KLASIK DAN FIQIH KONTEMPORER

MEMAHAMI FIQIH KLASIK DAN FIQIH KONTEMPORER

 

Oleh: NUR HIDAYAT

Mahasiswa Prodi PAI, Semester VII
STAI Al Aqidah Al Hasyimiyyah Jakarta

Kata Fiqih secara bahasa, berarti Al-Fahm (pemahaman atau paham disertai Ilmu pengetahuan). Ada juga yang menyatakan bahwa fiqih menyangkut pemahaman yang diperoleh melalui persepsi berfikir yang mendalam bukan sekedar tahu atau mengerti.

Sedangkan secara istilah, kata fiqih didefiniskan oleh para ulama dengan berbagai definisi yang berbeda-beda.

Adapun definisi istilah fiqih yang dikenal para ulama adalah ilmu yang membahas hukum-hukum syariat bidang amaliyah (perbuatan nyata) yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.

Klasik menurut kamus besar bahasa Indonesia definisi klasik adalah sesuatu yang mempunyai nilai atau mutu yang diakui dan menjadi tolak ukur kesempurnaan yang abadi atau karya sastra yang bernilai tinggi serta langgeng dan sering dijadikan tolak ukur atau karya sastra zaman kuno yang nilai kekal.

Jadi Fiqih Klasik adalah ilmu hukum yang berkembang pada periode kenabian dan muncul tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada zamannya tetapi telah juga menyiapkan warisan berharga untuk membangun hukum dimasa depan.

Fiqih klasik banyak berisi hukum Islam yang mengatur Pelaksanaan ibadah-ibadah, yang dibebankan pada muslim yang sudah mukkalaf yaitu kaitanya dengan lima prinsip pokok (wajib, sunnah, makruh, haram, dan mubah) serta membahas tentang hukum-hukum kemasyarakatan (muamalat).

Sementara itu, arti Fiqh Kontemporer,
Dalam kamus bahasa Indonesia bahwa pengertian kontemporer berati sewaktu, sesama, pada waktu atau masa yang sama, pada masa yang kini, dan dewasa ini.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Fiqih Kontemporer adalah perkembangan pemikiran fiqih pada masa yang kini. Dalam hal ini yang menjadi titik acuan adalah bagaimana tanggapan dan metodologi hukum islam dalam memberikan jawaban terhadap masalah masalah kontemporer.

Adapun yang melatarbelakangi munculnya isu fiqh kontemporer menurut penulis ada beberapa hal, diantaranya:

1. Akibat arus modrenisasi yang meliputi hampir sebagian besar Negara-negara yang dihuni mayoritas umat islam. Dengan adanya arus modrenisasi tersebut, mangakibatkan munculnya berbagai macam perubahan dalam tatanan social umat islam, baik yang menyangkut ideology politik, social, budaya dan sebagainya. Berbagai perubahan tersebut seakan-akan cenderung menjauhkan umat dari nilai-nilai agama. Hal tersebut terjadi karena aneka perbahan tersebut banyak melahirkan symbol-symbol social dan cultural yang secara eksplisit tidak memiliki oleh symbol keagamaan yang telah mapan, atau disebabkan kemajuan modrenisasi tidak diimbangi dengan pembaharuan pemikiran keagamaan.

2. Telah mapannya system pemikiran barat (hukum positif) di mayoritas negeri muslim secara faktual lebih mudah diterima dan diamalkan apa lagi sangat didukung oleh kekuatan yang bersifat structural maupun kultural, namun masyarakat islam dalam penerimaan konsepsi barat tersebut tetap merasakan adanya semacam “kejanggalan” baik secara psikologis, sosiologis maupun politis. Tetapi karena belum terwujudnya konsepsi islam yang lebih kontekstual, maka dengan rasa ketidakberdayaan mereka mengikuti saja konsepsi yang tidak islami. Hal tersebut akhirnya menggugah naluri pakar hukum islam yang lebih relevan dengan perkembangan zaman.

3. Masih terpakunya pemikiran fiqih klasik (lawan Fiqh Kontemporer) dengan pemahaman tekstual, adhoc dan persial, sehingga kerangka sistematika pengkajian tidak komprehensip dan actual, sekaligus kurang mampu beradaptasi denmgan perkembangan.

Selanjutnya untuk ruang lingkup Fiqih Kontemporer mencakup masalah-masalah fiqih yang berhubungan dengan situasi kontemporer (modern). Kajian fiqih kontemporer mencakup masalah-masalah fiqih yang berhubungan dengan situasi kontemporer (modern) dan mencakup wilayah kajian dalam Al-Qur’an dan Hadits. Kajian fiqih kontemporer tersebut dapat dikategorikan ke dalam beberapa aspek :
1. Aspek hukum keluarga, seperti ; akad nikah melalui telepon, penggunaan alat kontra sepsi, dan lain-lain.

2. Aspek ekonomi, seperti ; system bunga dalam bank, zakat profesi, asuransi, dan lain-lain.

3. Aspek pidana , seperti ; huku pidana islam dalam sistem hukum nasional

4. Aspek kewanitaan seperti, ; busana muslimah (jilbab), wanita karir, kepemimpinan wanita, dan lain-lain.

5. Aspek medis, seperti ; pencangkokan organ tubuh atau bagian organ tubuh, pembedahan mayat, euthanasia, ramalan genetika, cloning, penyebrangan jenis kelamin dari pria ke wanita atau sebaliknya, bayi tabung, percobaan-percobaan dengan tubuh manusia dan lain-lain.

6. Aspek teknologi, seperti ; menyembelih hewan secara mekanis, seruan adzan atau ikrar basmalah dengan kaset, makmum kepada radio atau televisi, dan lain-lain.

7. Aspek politik (kenegaraan), seperti ; yakni perdebatan tentang perdebatan sekitar istilah “Negara islam”, proses pemilihan pemimpin, loyalitas kepada penguasa (kekuasaan), dan lain sebagainya.

8. Aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah, seperti ; tayammum dengan selain tanah (debu), ibadah kurban dengan uang, menahan haid karena demi ibadah haji, dan lain sebagainya.

Adapun mengenai kajian yang berkenaan dengan Al-Qur’an dan hadits yang erat hubungnnya dengan fiqih kontemporer, antara lain adalah masalah metodologi pemahaman hukum islam (Ushul Fiqh), persoalan histories dan sosiologis ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi, kajian tentang maqaashidut-tasyri’ (tujuan hukum), keterbukaan kembali pintu ijtihad, soal kemaslahatan umum, adat istiadat mayarakat yang berlaku, tentang teori nasakh dan teori illat hukum, tentang ijma’ dan lain-lain.

Kajian hukum Fiqih Kontemporer tidak terlepas dari aspek material dan formalnya hokum islam, serta mana yang permanent dalam hukum islam (tasyri’iyyah) dan mana yang bersifat relatif (berubah) atau ghairu-tasyri.

Tujuan Fiqh Kontemporer. Menurut Dr. Yusuf Qardlawi dalam salah satu kitabnya secara implisit mengungkapkan betapa perlunya fiqh kontemporer ini.

• Dengan adanya kemajuan yang cukup mendasar itu, timbul pertanyaan bagi kita, mampukah ilmu fiqh menghadapi zaman modren?. Masih relevankah hukum islam -yang lahir 14 abad silam- diterapkan sekarang?. Tentu saja kita, sebagai muslim, akan menjawabnya. Hukum islam mampu menghadapi zaman, dan masih relevan untuk diterapkan “tidak asal bicara, memang. Tapi, untuk menuju kesana, perlu syarat yang harus dijalani secara konsekuen. Untuk merealisir tujuan penciptaan fiqih kontemporer tersebut Qardlawi menawarkan konsep ijtihad; ijtihad yang perlu di buka kembali. Menapak-tilasi apa yang telah dilakukan ulama salaf. Dalam hal yang berkaitan dengan hukum kemasyarakatan, kita perlu bebas madzhab.

Berikut ini kita uraikan pula pandangan Prof. Said Ramadan tentang hal serupa.
• Semua pendapat yang harus di timbang dengan kriteria Al-Qur’an dan sunnah. Dan semua manusia sesudah Rasulullah dapat berbuat keliru. Dalam segala hal dimana tidak ada teks yang mengikat, maka pertimbangan masalah sajalah yang mengikat; dan bahwa aturan demi maslahah dapat berubah bersama perubahan keadaan dan masa, terdahulu: “Di mana dan maslahah di sanalah letak jalan Allah”. Prebedaan antara syari’ah (sebagaimana tercantum dalam Al-Qura’an dan sunnah) yang mengikat abadi dengan detail-detail yang diterangkan oleh para fuqoha’ seharusnya memberikan pengaruh yang sangat sehat terhadap ummat islam pada zaman ini.

Dari pernyataan S. Ramadan diatas dapat kita ambil kesimpulan khususnya berkenaan dengan munculnya isu fiqih kontemporer tersebut, yakni: bagaimanapu pemikiran ulama bias di pertanyakan kembali berdasarkan kriteria al-qur’an dan sunnah di sisi lain pertimbangan maslahah dapat di jadikan rujukan dalam upaya penyesuaian fiqih dengan zaman yang berkembang. Terakhir, perbedaan antara syari’ah dengan fiqih menjadi peluang timbulnya pengkajian fiqih kontemporer. Demikianlah sekelumit beberapa latar belakang munculnya isu fiqih kontemporer yang dapat penulis kemukakan.

Prof. Dr. Harun Nasution membagi ciri pemikiran islam ke dalam tiga zaman, yakni zaman klasik ( abad VII-XII ) zaman ini disebut juga oleh beliau sebagai zaman rasional, zaman pertengahan ( tradisional ) abad XIII-XVIII dan zaman modern (kontemporer) abad XIX-? . Berdasarkan kriteria di atas, fiqih klasik yang di maksud adalah pola pemahaman fiqih abad VII-XII, sedangka fiqih kontemporer, adalah pola pemahaman fiqih abad XIX dan seterusnya. Yang menjadi fokus kajian disini adalah; adakah relevansinya antara pola pemahaman fiqih kontemporer dengan fiqih klasik, lalu di mana letak relevansi pemahaman antara kedua zaman tersebut?

Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, metode berpikir ulama klasik terkait langsung dengan al-Qur’an dan Hadist, sehingga banyak melahirkan ijtihad yang kualitatif, hal ini banyak di contohkan oleh para sahabat Nabi terutama Umar bin Khattab ra. Metode berpikir itu pulalah yang di tiru oleh imam-imam mazhab fiqih seperti Imam Malik ibn anas, Abu Hanafiah, Syafi’i, dan ibn hambal. Juga oleh para mutakallimin seperti: Washil bin ‘Atha’, Abu al-Huzail, Al-jubba’i, Al-asy’ari, Al-maturidi, dan Al-Ghozali.

Sedangkan pemikiran zaman pertengahan, berbeda dengan pemikiran zaman klasik, menjadi terikat sekali dengan hasil pemikiran para ulama zaman klasik. Ruang geraknya sempit, pemikiran rasional diganti dengan pola pemikiran tradisional. Dalam menghadapi maslah-masalah baru mereka tidak lagi secara langsung menggali ke al-qur’an dan hadist tetapi lebih banyak terikat denga produk pemikiran ulama abad klasik. Sehingga orisinalitas pemikiran semakin berkurang dan cenderung dogmatis. Maka bekulah pemikiran serta kurang mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Corak pemikiran ini menampilkan sosok ulama islam abad pertengahan dengan pola Penalaran fiqih yang tradisional. Di zaman modern inipun masih banyak umat islam yang terpaku dengan pola pemikiran islam abad pertengahan tersebut hanya sebagian kecil yang sudah mulai memakai pola pemikiran rasional zaman klasik.

Sebenarnya bila umat islam ingin maju dan punya kemampuan untuk mengantisipasi perkembangan zaman modern, pola permikiran rasional para sahabat dan ulama klasik sudah selayaknya untuk dikembangkan lagi disinilah letak relevansinya antar fiqih kontemporer dengan fiqih klasik nantinya, yakni relevan dalam pola penalaran fiqhiyahnya, walaupun akan menghasilkan produk fiqih yang berbeda karena perbedaan situasi dan kondisi yang ada.

Dapatlah kita kemukakan bahwa persoalan fiqih kontemporer di masa akan datang lebih komplit lagi dibanding yang kita hadapi hari ini. Hal tersebut disebabkan arus perkembangan zaman yang berdampak kepada semakin terungkapnya berbagai persoalan umat manusia, baik hubungan antara sesama maupun dengan kehidupan alam sekitarnya.

Kompleksitas masalah tersebut tentunya akan membutuhkan pemecahan masalah berdasarkan nilai-nilai agama. Disinilah letak betapa pentingnya rumusan ideal moral maupun formal dari fiqih kontemporer tersebut, yang tidak lain bertujuan untuk menjaga keutuhan nilai ketuhanan, kemanusiaan dan kealaman, terutama yang menyangkut dengan aspek lahiriyah kehidupan manusia di dunia ini. Wallaahu’alam…Semoga bermanfaat.

Baca Selanjutnya

DARI PENULIS

BERITA TERKAIT

IKLAN

TERBANYAK DIBACA

BACA JUGA