KAIDAH POKOK AL’AADAH MUHAKKAMAH (Tradisi Dapat Menjadi Pertimbangan Hukum)

KAIDAH POKOK AL’AADAH MUHAKKAMAH (Tradisi Dapat Menjadi Pertimbangan Hukum)

Oleh: TASIMA
Mahasiswa Semester: III
Fakultas syari’ah, jurusan Ahwal syakhsiyyah, institut agama Islam Al aqidah Al Hasyimiyyah Jakarta, Tahun 2024

Abstrak

Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) yaitu suatu hukum kulli atau disebut menyeluruh yang mana mencakup intisari hukum-hukum fiqh. Qawaidul fiqhiyah mempunyai 5 (lima) kaidah induk yang mana salah satunya yaitu kaidah( ُ‫( ا ْلعَادَةُ م َح َّك َمة‬al-‘aadah muhakkamah, yang mana diambil dari kebiasaan-kebiasaan baik yang mana itu tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat sehingga dapat dijadikan sebagai pijakan atau dasar dalam menetapkan suatu hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam suatu masyarakat tersebut. Melalui penulisan berbasis literatur inilah, akan dijabarkan mengenai kaidah fiqhiyah induk kelima yang mana kaidah fiqh ini berkedudukan sebagai titik temu dari suatu masalah-masalah fiqh. Dari hasil temuan dapat kita ketahui bahwa dengan mengetahui dan memahami penerapan kaidah fiqhiyah induk kelima inilah akan membuat seseorang menjadi lebih bijak dalam menerapkan hukum fiqh lebih khususnya yang berkaitan dengan adat atau kebiasaan dalam suatu masyarakat, serta lebih mudah untuk memberikan solusi terhadap masalah-masalah yang mana terus berkembang seiring dengan berjalannya waktu, tempat, situasi dan kondisi yang sering kali berubahubah.

PENDAHULUAN

Al’aadah Muhakkamah merupakan sebuah realita yang tidak bisa dipungkiri bahkan setiap komunitas suatu masyarakat pasti memiliki tradisi-tradisi yang mereka warisi secara turun-temurun. Dan tradisi ini bisa saja sama dengan tradisi yang ada di sebuah komunitas masyarakat yang lain, bahkan bisa jadi berbeda. Islam itu sebagai agama yang memiliki sifat selalu relevan untuk semua umat manusia dan tentu memiliki sebuah solusi untuk setiap tradisi-tradisi yang ada pada setiap komunitas. Di antara solusi yang ditawarkan oleh Islam yaitu menetapkan sebuah adat yang telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat, dimanah tradisi tersebut telah mandarahdaging dan sulit bagi masyarakat untuk meninggalkannya. Namun, tentu tidak semua adat yang ada di suatu masyarakat secara otomatis diakui dalam Islam, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar sebuah adat bisa diakui dan dijadikan sebagai suatu landasan hukum dalam Islam. Oleh sebab itu, tulisan ini selalu mencoba merumuskan persyaratan-persyaratan apa yang harus dipenuhi oleh sebuah adat agar bisa menjadi suatu Rujukan hukum dalam Islam, dengan Melalui kajian terhadap kaidah fiqhiyah “al-adah muhakkamah” penulis juga mencoba menyajikan sebuah pembahasan yang terperinci tentang definisi-definisi al-adah, kemudian menarik kesimpulan dari definisi-definisi yang ada tentang hakikat aladah yang sesungguhnya. Penulis juga mencoba yaitu mengkaji tentang persyaratan- persyaratan pengaplikasian kaidah “al-adah muhakkamah”.

Dan yang terakhir yaitu tentang aplikasi kaidah “al-adah muhakkamah” didalam sebuah permasalahan fiqih, yaitu penentuan jumlah dan jenis mahar; supaya dengan adanya kajian ini pembaca bisa memperoleh gambarangambaran yang utuh dan sempurna tentang kaidah “al-adah muhakkamah”, serta mampu mengaplikasikannya dalam permasalahan fiqih yang lain.

PEMBAHASAN

Pengertian Al-‘Aadah Muhakkamah Secara bahasa yaitu, ‫ ا ْلعَادَةُ م َح َّك َمة‬yang mana diambil dari kata al-‘aawud(‫) العود‬atau mu’awadah (‫ )المعودة‬yang artinya suatu berulang-ulang )‫ (لتكرار‬sedangkan definisi al-‘aadah menurut Ibnu Nuzhaim yaitu: ُ‫عبارة عماُيستقرُفيُالنفوسُمنُاالمورُالمتكررةُالمقبولةُعندُالُطباعُالسليمة‬ “Sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri perkara yang berulang- Ulang yang bisa diterima oleh tabi‟at (perangai) yang sehat.” Sedangkan Abdul Karim Zaidan mendefinisikan al-‘aadah itu sebagai pengulangan sesuatu dan Kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang kali hingga ia melekat dan diterima dalam Benak seseorang, Dalam pengertian dan substansi yang sama, juga terdapat istilah lain dari al- „aadah, yaitu al-„urf, yang secara harfiyah berarti suatu keadaan, ucapan, Perbuatan, atau ketentuan yang diketahui manusia dan telah menjadi tradisi untuk Melaksanakannya atau meninggalkannya.

ُ‫العرفُهوُماُتُعارفُعليهُالناسُواعتادهُفيُاقوالهمُوافعالهمُحتىُصارُذالكُمطرداُاوُغالبا‬ ‟Urf yaitu apa yang dikenal atau diketahui oleh manusia dan dilakukan secara berulang ulang dalam Ucapannya dan perbuatannya hingga hal tersebut menjadi suatu kebiasaan dalam suatu masyarakat dan berlaku Umum.” Sedangkan arti dari pada “muhakkamah” adalah keputusan seorang hakim dalam pengadilan dalam Menyelesaikan senketa, artinya adat juga bisa menjadi suatu rujukan seorang hakim dalam Memutus persoalan atau masalah sengketa yang diajukan ke meja hijau. Jadi yang dimaksud dengn kaidah ini bahwasannya sebuah tradisi baik yang berbentuk umum atau yang khusus Itu dapat menjadi sebuah hukum untuk menetapkan suatu hukum syariat islam (hujjah) Terutama oleh seorang hakim didalam sebuah pengadilan, selama tidak ada atau belum Ditemukan dalil nash yang secara khusus melarang atau mencegah adat tersebut, atau mungkin Ditemukan dalil nash akan tetapi dalil tersebut terlalu umum belum berbentuk khusus, sehingga tidak bisa Mematahkan sebuah adat yang telah ada. Namun perlu diingatkan bahwa bukan berarti setiap adat kebiasaan dapat diterima begitu saja, tanpa ada persyaratan, Karena suatu adat bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan sebagai berikut.

1. Adat tidak bertentangan dengan syariat, makanya jika ada ada adat yang bertentangan dengan syariat maka itu tidak bisa dijadikan landasan hukum, misalnya jika ada suatu kaum yang adatnya atau kebiasaannya memakan bangkai kecuali bangkai ikan dan belalang maka adat tersebut tidak bisa menjadi landasan hukum, karena didalam syariat memakan bangkai kecuali bangkai ikan dan belalang maka hukumnya haram. Sebagai sabda nabi Muhammad Saw yaitu: ُ ‫ُُاَجُ ْلُتُُلَُكُ ُْمُ َُمُْيُتَُتَانُُ َُو َُد َُمانُُفأما‬:ُ‫ّللاُصلىُهللاُعليهُوسلم‬ ُٰ ُ‫عنُعبدُهللاُبنُعمرُرضيُهللاُعنهماُقالُقالُرسول‬ ُ‫ُفالكبوُوالطحالُرواهُابنُماجهُوأحمد‬:ُُ‫ُوأماُاُْلدُ َُمان‬،ُ‫ج َرُادُُ َوُاُْلحُ ُْوت‬ َُ ‫اُْل َُمُْيُتَُتَانُُفَُاُْل‬ “Dari Abdullah bin Umar rodiyallahu ‘anhuma ia berkata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, di halalkan untuk kalian dua macam bangkai dan dua macam darah, adapun dua macam bangkai yaitu ikan dan belalang. Sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa” HR. Ibnu Majah dan Ahmad

2. Adat atau ‘urf harus berlaku secara konsisten ( tidak gampang berubah) ‘urf itu sesuatu yang sudah umum dalam suatu masyarakat, jadi jika adat atau ‘urf itu berubah rubah maka tidak bisa bisa di jadikan sebagai landasan hukum.

3. Jika ada aturan syariat yang bersifat umum maksudnya ( tidak memiliki batasan secara syar’i atau lughowi, maka akan mengikuti ‘urfnya, contoh dalam masalah haid, haid itu bisa menjadi adat atau ‘urf (suatu kebiasaan dalam masyarakat) imam Syafi’i menetapkan bahwa batas minimal haid itu 24 jam atau sehari semalam sedangkan maksimalnya 15 hari 15 malam, tentunya imam Syafi’i menetapkan masa minimal dan maksimalnya haid itu sesuai dengan ‘urf (kebiasaan atau umumnya dalam suatu masyarakat) dikarenakan di dalam syariat tidak dijelaskan batas minimal dan maksimalnya haid, maka imam Syafi’i menjadikan adat tersebut sebagai landasan hukum.

4. Adat yang dipakai adalah adat yang bersifat umum, jika berlaku khusus sebatas pribadi atau individu, maka tidak dipakai seperti standar minimal haid harus tetap 24 jam ( meski ada satu wanita yang berbeda) umumnya seorang perempuan itu haid paling sedikitnya 24 jam atau sehari semalam, jadi jika ada perempuan yang haidnya belum 24 jam sudah berhenti darahnya maka itu tidak termasuk al’aadah muhakkamah (adat sebagai landasan hukum) karena itu sifatnya individual. ‫الغبرةُللغالبُاللناُدر‬

5. Sesuatu kejadian yang sering dilakukan bukan yang jarang Adat yang dipakai adalah yang mana berlaku saat itu, seperti halnya kasus standar ujroh mitsli, mahar mitsli, hirzi mitsli ➢ Ujroh mitsli yaitu upah kerja yang standar umum, jika seandainya dia bekerja dan sebulannya mendapatkan satu juta maka harus dibayar sebanyak satu juta, kalau seandainya gaji dibulan February menunjang sebanyak dua juta maka harus di bayar sesuai dengan yang berlaku saat itu

➢ Mahar mitsli yaitu mahar yang harus dibayar sesuai adat atau ‘urf tersebut
➢ Hirzi mitsli yaitu kelayakan tempat contohnya jika ada orang yang menitipkan barang (hp) kepada anda dan anda menyimpan ditempat sembarangan dan kemudian hilang barang tersebut (hp) maka anda wajib menggantikannya akan tetapi jika anda menyimpan atau menaruk barang tersebut di tempat yang layak seperti meletakkannya dilemari kemudian hilang maka tidak wajib menggantikannya Dasar Hukum Kaidah Al-‘Aadah Muhakkamah Seluruh kaidah dalam ilmu fiqih tentunya memiliki landasan Al-Quran dan Hadits termasuk kaidah yang kita bahas saat ini. Para ulama tentunya telah menelisik atau meneliti kaidah ini sehingga kaidah ini menjadi kaidah yang kokoh. Kemudian ayat-ayat yang dapat dikorelasikan dengan kaidah ini yaitu:

ٰ ‫ساُا َّالُ َم‬ ٰ ‫علَيْهُر ْزق ٗهُفَ ْلي ْنفقْ ُم َّم‬ َ ُ‫ُّللا‬ ُ‫ُّللاُبَ ْعدَُعس ٍْر‬ ُۗ ‫آُا ٰت‬ َ ُ‫ُو َمنْ ُقد َر‬ َ ُُ‫ىها‬ َ ُ ْ‫سعَةٍُمن‬ َ ُ‫لي ْنفقْ ُذ ْو‬ ً ‫ُّللاُنَ ْف‬ َ ُُۗ‫سعَته‬ ٰ ‫سيَجْ عَل‬ ٰ ‫ُۗالُيكَلف‬ ٰ ‫آُا ٰتىه‬ ‫يُّس ًُْرا‬

Artinya:

“Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaknya memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan bab ini dapat dikorelasikan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ُ)‫سنُ(رواهُاحمد‬ َ ‫سنًاُفَه َوُعُ ْندَُهللاُ َح‬ َ ‫اُرآءهُُا ْلمسلُم ْونَُ َح‬ َ ‫َُم‬ Bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka akan baik pula disisi Allah, apa yang dipandang tidak baik oleh kaum muslimin, maka tidak baik pula disisi Allah (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani) dalam kitab Al Kabiir dari Ibnu Mas’ud bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka akan baik pula di sisi allah. sedangkan dalam qiyasnya para ulama, menuaikan hasil penelitian yang dilakukan dengan Beragam ketetapan hukum yang mana disepakati diantaranya adalah kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat sebelum kehadiran Islam, seperti perjanjian as-salam. Istisna, Mudharabah dan jual beli Al-Raya (jual beli antara kurma kering dan kurma basah yang belum dipetik dari pohonnya

Penutup

Kaidah al-‘aadah muhakkamah dalam ilmu fikih Islam Merujuk atau mengarah pada kebiasaan yang berulang – ulang dalam suatu masyarakat dan diterima oleh akal sehat sebagai dasar hukum. Kebiasaan ini harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, seperti halnya tidak bertentangan dengan prinsip prinsip syariah dan menjadi norma dalam suatu masyarakat. Kemudian Dengan memahami kaidah ini, penerapan hukum bisa menjadi lebih bijak dan relevan terhadap dinamika-dinamika sosial yang terus berubah. Al-‘aadah muhakkamah juga berfungsi sebagai titik temu dalam penyelesaian suatu permasalahan hukum yang mana tidak memiliki ketentuan yang jelas, sehingga menjadi penting dalam konteks hukum Islam yang adaptif terhadap budaya lokal.

Daftar pustaka

Saifullah kholid, November 2020, aplikasi al’aadahmuhakkamah dirasat islamiyah, volume 8, nomor.1, halaman 58 Fiteriana habibah, September 2023, realisasi kaidah fiqih al’aadah muhakkamah, Islamic law, vol.8, no.,02 Fatmah taufik hidayat dan mohd izhar ariff bin mohd qasim, juni 2016, jurnal sosiologi usk, kaidah adat muhakkamah, vol.9, no.1, halaman 76

Baca Selanjutnya

DARI PENULIS

BERITA TERKAIT

IKLAN

TERBANYAK DIBACA

BACA JUGA