Kaidah Pokok Al-Umuru Bimaqosidiha

Kaidah Pokok Al-Umuru Bimaqosidiha

Oleh : Muh Veri Dahri

Mahasiswa IAI Al-Aqidah Al-Hasyimiyyah

Sinar5news.com – Kaidah fikih (Qawaid Fikhiyyah) adalah dasar fikih yang bersifat umum yang mencakup hukum-hukum syara’ secara menyeluruh dari berbagai bab/bagian dalam masalah -masalah yang masuk di bawah cakupannya. Kaidah-kaidah fiqih merupakan pedoman bagi umat Islam untuk menyelesaikan masalah hukum dalam kehidupan sehari-hari.

Tanpa pedoman, tidak akan diketahui batas -batas boleh-tidaknya sesuatu itu dilakukan serta tidak dapat menentukan perbuatan yang lebih utama untuk dikerjakan atau lebih utama untuk ditinggalkan. Dalam berbuat atau berprilaku masyakarat terikat dengan rambu-rambu dan nilai-nilai yang dianut, baik berdasarkan ajaran agama maupun tradisi-tradisi yang baik. 

Dalam Islam, pedoman yang dijadikan rujukan dalam berbuat tersebut adalah petunjuk-petunjukAl Qur’an dan Sunnah Nabi. Kita diperintahkan untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh berpaling dari keduanya, seperti dipahami dari ungkapan imperatifAllah dalam suratAli Imran ayat 32, yang artinya: “Katakanlah olehmu (hai Muhammad), ta’atiah Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang kafir.”

Umat Islam hingga sekarang tetap menjadikan kalam Tuhan dan Sunnah Nabi itu sebagai sandaran utama dalam berperilaku dan berbuat. Tidak hanya itu, kedua sumber hukum itu dijadikan rujukan utama dalam penyelesaianpenyelesaian berbagai masalah, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk masalah hukum. 

KAIDAH AL-UMURU BIMAQOSHIDIHA
Sumber Pengambilan Kaidah

1. Al-Qur’an
Kaidah “Al-Umuru bi Maqoshidiha” terbangun dari pesan terdalam dalam surat Al-Bayyinah (5) tentang keharusan melakukan niat dalam ibadah:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Dalam konteks ayat di atas, Al-Qurtubi menafsirkan kata “niat” adalah ibadah (syifa). Dalam penafsiran ini, beliau menjelaskan bahwa ikhlas yang termuat dalam kata mukhlisin adalah perbuatan hati yang hanya dilakukan dalam rangka beribadah. Ikhlas sendiri adalah perbuatan hati yang hanya bisa terwujud melalui perantara niat. Karena itu, jelaslah bahwa ada keterkaitan antara ibadah dan niat.

Ayat lain yang menjadi dasar kaidah ini di antaranya:

“Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
(QS. Ali Imran: 145)

“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al-Ahzab: 5)

AL-HADIST
Hadis Nabi SAW yang menjadi pondasi terbangunnya kaidah ini adalah: 

*”Innamal a’malu binniyyat, wa innama likulli imri’in ma nawaa fa man kanat hijratuhu ila Allahi wa Rasulihi fahijratuhu ila Allahi wa Rasulihi, wa man kanat hijratuhu lidunya yusibuha aw imra’atin yankihuha fahijratuhu ila ma haajara ilaih.”* 

“Setiap perbuatan itu bergantung kepada niat-niatnya dan bagi setiap orang sesuai dengan niatnya. Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya karena mengharapkan kepentingan dunia, maka ia akan mendapatkannya, dan barangsiapa berhijrah karena wanita, maka ia akan menikahinya. Maka hijrahnya kepada yang diniatkannya.”
(HR. Bukhari Muslim dari Umar Ibn al-Khattab). 

Penelusuran secara semantik juga akan menguak kandungan terdalam hadis tersebut, sekaligus akan ditemukan beberapa elemen penting yang membuatnya layak untuk dijadikan bahan pijakan membangun kaidah “Al-Umuru Bi Maqoshidiha” ini. 

Pada permulaan hadis itu terdapat huruf *Innama*, yang berfungsi sebagai media “pembatas” rangkaian kalimat sesudahnya (*adat al-hashr*). Artinya, ketika kata *al-amal bi al-niyyat* didahului oleh kata *Innama*, maka akan menimbulkan pengertian bahwa hanya dengan niatlah amal perbuatan seseorang akan layak diperhitungkan; dianggap sebagai amal ibadah, tidak dengan selainnya. 

Penerapan Kaidah

Berdasarkan pengertian dan makna kaidah, bahwasanya setiap perbuatan yang dilakukan tergantung pada niat yang dimunculkan. Jika sebuah pekerjaan tidak diniati, maka pekerjaan itu tidak dianggap sah menurut syari’at. 

Begitu juga pekerjaan yang dikerjakan pasti didasari niat (tujuan) tertentu, maka seseorang yang niat melakukan kebaikan dan tidak sampai terlaksana, syari’at tetap memberi penghargaan padanya dengan menghadiahkan satu pahala. 

Baca Selanjutnya

DARI PENULIS

BERITA TERKAIT

IKLAN

TERBANYAK DIBACA

BACA JUGA