Dalam konteks pembahasan wali Allah ini, muncul dalam persefekstif murid dan jama`ah Nahdlatul Wathan (NW) serta para ulama tertentu yang menyebut adanya sang Sufi dari Timur dan telah menyandang kewalian dan karomah yang banyak sekali, yaitu maha guru kami Sulthaanul Aulia Al-`Aalim Al-`Allamah Al-`Aarifu Billaah, Maulana Syaikh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Beliau adalah seorang ulama yang telah mendapatkan sanjungan dari Nabi Ibrahim `alaihissalam (melalui mubasyirat) dengan sebutan al-Masyhur. Atau dalam salah satu pernyataan maha gurunya yang menyebut beliau sebagai; “Ayatun min Ayatillah” (Maulana Syaikh Zainuddin itu adalah tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah). Dan banyak pula menyebut beliau dengan predikat al-`Aalim al-`Allamah, karena ketinggian derajat keilmuannya. Selain itu pula, banyak yang menyebut beliau dengan sebutan al-`Arifu Billah, [1] yakni seorang ulama yang telah mencapai makrifat disisi Allah Subhanahu wa Ta`ala. Dan bahkan beliaupun dapat disebut sebagai seorang ulama dan aulia Allah yang telah memiliki suatu pangkat dan derajat kewalian tertinggi yang disebut dengan derajat Wali Quthb. Sebuah pangkat kewalian yang jumlahnya sangat terbatas sekali, yaitu hanya seorang saja untuk setiap masanya.
Disamping itu, Sulthaanul Aulia Al-`Aalim Al-`Allamah Al-`Aarifu Billaah, Maulana Syaikh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid yang lahir di Kampung Bermi, Desa Pancor, Selong Lombok Timur, NTB tahun 1904 dan wafat pada tahun 1997, seringkali disebut sebagai seorang ulama yang mendapat gelar Al-`Allamah, sebuah sebutan dalam tradisi Arab untuk menunjuk pada sosok pribadinya yang memiliki pangkat keulamaan dan keilmuan Islamnya yang sungguh sangat tinggi dan mumpuni. Disisi keilmuan, Maulana Syaikh disebut juga sebagai sosok ulama mutafanin. Hal ini, karena eksistensi beliau sebagai seorang ulama yang mumpuni dalam berbagai disiplin keilmuan Islam.
Dengan sederet sebutan dan gelar keulamaannya, maka sampai saat ini, sosok Maulana Syaikh telah dikenal luas sebagai salah satu tokoh besar kebanggaan masyarakat lembah Rinjani, Bumi Selaparang Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai Pahlawan Nasional yang muncul ke permukaan sebagai tokoh agama (ulama) dan wali Allah serta tokoh panutan masyarakat yang banyak aktif melakukan gerakan dan pembaharuan dalam berbagai ranah kehidupan, seperti Pendidikan, Sosial dan Dakwah serta Ekonomi dan Politik. Beliau dengan penuh konsentrasi, mengerahkan segala daya dan kemampuannya, secara dinamis melangkah membangun dan memperjuangkan kemajuan agama dan negara di wilayah ini, sehingga wilayah inipun dikenal sebagai Pulau Seribu Masjid.
Nahdlatul Wathan (NW) sebagai organisasi sosial kemasyarakatan Islam yang didirikannya itu, selalu sebagai ikon perjuangan yang tidak pernah sepi dari gerakan-gerakan untuk membangun umat. Dan memang, secara embrional didirikan dalam suasana dan kondisi sosio-historis yang heroik, baik dalam konteks upaya penegakan agama dan pembentukan negara (Indonesia). Hal ini tercermin dari pilihan nama organisasi Nahdlatul Wathan (NW) yang memiliki arti kebangkitan atau pergerakan negara. Aura kebangsaan dalam nalar nasionalisme religius begitu terasa dalam jalinan paradigma kebangsaan yang dijiwai oleh nilai-nilai ke-Islaman. Dan pada titik ini, relasi agama dan negara memiliki hubungan yang simbiotik mutualistik dan sinergis.
Untuk mengenal lebih dekat terhadap biografi sosok ulama besar, sosok waliyullah dan sosok sufi dari timur yang telah mendapatkan gelar Sulthan al-Aulia ini, maka penulis mengarahkan para pembaca untuk membuka sebuah buku yang berjudul Visi Kebangsaan Religius yang menjelaskan dengan tuntas biografinya.[2]
Dan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam konteks kesufian, Maulana Syaikh Maulana Syaikh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dikenal oleh para murid dan jamaahnya sebagai seorang waliyullah dan telah banyak memiliki berbagai macam bentuk karomah dari Allah Subhanahu wa ta`ala yang diberikan kepadanya. Dan dalam bidang kesufian atau tasawuf inipun, beliau telah berhasil menyusun dan mewariskan tiga macam Tasawuf `Amali sebagai ketasawufan warga Nahdlatul Wathan khususnya dan umat Islam umumnya di era modern seperti saat sekarang ini. Tiga macam amalan ketasawufan yang dimaksudkan adalah Hizib Nahdlatul Wathan dan Ikhtisharnya, Hizib Nahdlatul Banat serta Tarekat Hizib Nahdlatul Wathan.
[1]Untuk kata `Arif billaah, memiliki dua makna, yakni `Arif billaah `Ammah dan `Arif billaah Khasshah.Yang dimaksdukan dengan istilah `Arif billaah `Ammah adalah mengenal Allah dengan mengetahui sifat-sifat-Nya yang sempurna dan cptaannya yang mengagumkan, seperti umumnya masyarakat Islam yang mengenal sifat-sifat Allah yang sempurna. Misalnya, sifat-sifat Wujud, Qidam, Baqa` dan seterusnya. Jadi, setiap Islam yang telah mengenal sifat-sifat Allah, maka bisa disebut `Arif, tapi `Arif `Ammah. Adapun yang dimaksudkan dengan istilah `Arif billaah Khasshah adalah orang yang mengenal Allah dengan pengenalan khusus dan istimewa, yakni orang yang dapat memandang Allah dengan mata hatinya di setiap saat.
[2]Untuk mengenal biografi Maulana Syaikh yang lebih lengkap lagi, lihat; Muhammad Noor, Muslihan Habib dan Muhammad Harvin Zuhdi, Visi Kebangsaan Religius, Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, Jakarta, Logos Wacana Ilmu-Ponpes Nahdlatul Wathan Jakarta, 2004. Selain buku diatas, telah banyak terbit karya-karya ilmiah lokal, dalam dan bahkan juga luar negeri yang telah menjelaskan biografi atau keulamaan serta ketokohannya.
Disadur oleh Team SinaLima dari Buku Kewalian Dan Karomah Maulana Syaikh
Oleh :H. Muslihan Habib