Dakwah TGB (48) MEMBANGUN JIWA SAMI’NA WA ATHA’NA

Dakwah TGB (48) MEMBANGUN JIWA SAMI’NA WA ATHA’NA

Oleh: Abah Rosela Naelal Wafa

Pada saat pengajian rutin kajian tafsir al-Qur’an di Islamic Center Mataram dan bahasannya sampai pada ayat 93 dari surah al-Baqarah:

“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat bukit (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): “Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!” Mereka menjawab: “Kami mendengar tetapi tidak mentaati”. Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi karena kekafirannya. Katalanlah: “Amat jahat perbuatan yang telah diperintahkan imanmu kepadamu jika betul kamu beriman (kepada Taurat)”. (QS. al-Baqarah: 93).

Ulama tafsir jebolan Universitas Al-Azhar Cairo Mesir tersebut membahas satu sifat yang berbeda dari sikap Bani Israil (pada ayat di atas) yaitu “Sami’na wa Atha’na” (Kami dengar dan kami taati).

Nah, lantas bagaimana cara kita membangun sifat “Sami’na wa Atha’na”? Kata para ulama (kutip TGB) ada empat caranya.

Pertama, yakini dan imani. Ini langkah awal dan pertama untuk bisa membangun jiwa yang siap mendengar dan mentaati. Apa yang kita imani? Yaitu, kita mengimani bahwa apa yang sampai kepada kita adalah suatu kebenaran yang bersumber dari Allah swt. Zat Yang Maha Mulia.

Hanya dengan keimanan yang membuat kita menjadi tunduk terhadap aturan dan ketentuan Allah swt. Sama halnya dengan –TGB mengilustrasikan– bapak-bapak atau kita semua (siapa saja) yang naik motor melewati jalan raya. Saat sampai di perempatan, tiba-tiba lampu berubah merah, maka dengan kesadaran dan keyakinan mantap kita berhenti.

Kenapa kita berhenti? Ya, karena lampu merah.

Kenapa berhenti karena lampu? Karena kita meyakini lampu itu melambangkan satu peraturan. Lampu itu merupakan satu tuntunan dan aturan lalu lintas yang harus dipatuhi. Maka, dengan kesadaran penuh (sami’na wa atha’na) kita berhenti, padahal itu benda mati.

Kalau pun (misalnya) ada yang nekat menabrak lalu lintas atau petunjuk lampu merah, karena –mungkin memiliki nyali– lalu di depan sana ada Pak Polisi. Apa kira-kira ada yang masih berani menabrak lalu lintas? Tidak ada. Pasti kita berhenti juga. Kenapa berhenti? Karena ada Polisi.

Mungkin ada yang bertanya lagi. Kok berhenti karena ada Pak Polisi? Kita berhenti, sebab kita melihat Pak Polisi itu bukan dalam tatarannya sebagai manusia pada biasanya. Tapi, kita melihat dia dengan sifatnya sebagai Polisi. Sosok pengatur ketertiban lalu lintas demi keselamatan semua pengendara.

“Sama lampu stop saja kita behenti, atau kalau ada Pak Polisi saja kita berhenti dan kita patuhi, (sebenarnya) apalagi kalau tuntunan itu berasal dari Allah swt.” Kata TGB menganalogikan.

Memang, –kata TGB– analogi ini memang tidak pas untuk membandingkan makhluk dengan Allah swt. Yang Maha Mulia, tapi itulah ilustrasi gambarannya untuk bisa lebih mudah mendekatkan pemahaman kita kepada makna “Sami’na wa Atha’na”.

Dan sejatinya pada banyak hal dalam kehidupan sehari-hari kita begitu tunduk dan mematuhi aturan yang dibuat manusia, sejati kepada Allah swt. harus lebih dari itu.

Sebagai contoh juga –sebut TGB– saat kita membawa mobil dan masuk di parkiran, di sana kita begitu patuh dengan petunjuk Juru Parkir. Mengapa kita begitu patuh?

Sebab, kita melihat Juru Parkir saat itu sebagai orang yang melambangkan satu aturan yang harus kita ikuti. Buktinya, saat si Juru Parkir bilang ke kanan, kita pun patuhi (sami’na wa atha’na). “Kira-kira ada tidak orang yang berani melawan Juru Parkir saat itu”?” Tanya TGB.

Jawabannya, pasti tidak ada!

“Sama lampu merah saja kita ikut, sama Pak Polisi saja kita patuh, termasuk sama Juru Parkir, maka mestinya kepada Allah swt. lebih patuh dan lebih taat (sami’na wa atha’na)”. Jelas syaikh TGB.

Kedua, cara membangun jiwa “Sami’na wa atha’na” ialah menyadari bahwa di dalam tuntunan Allah swt. itulah ada keselamatan yang hakiki atau keselamatan mutlak.

Untuk mendekati pemahaman kita, Ketua PBNW ini mengajak kita membayangkan saat kita berdagang di pasar. Semua aturan di sana kita ikuti dan patuhi dengan maksimal. Tempat yang sudah ditentukan kita turuti. Kenapa kita ikuti? Karena kita mau mendapatkan keuntungan. Padahal, keuntungan berdaganng itu hanya masih nominal ribuan.

“Untuk keuntingan yang sifatnya sangat sementara itu kita mau ikuti aturannya. Maka apatah lagi untuk suatu keuntungan yang sifatnya menyelamatkan dunia dan akhirat, maka di situ lebih patut untuk diikuti (Sami’na wa atha’na).” Kata almukarram TGB.

Ketiga, untuk membangun jiwa “sami’na wa atha’na” kata ulama ما تكرر تكرر . Jadi, kalau kita mau lebih taat kepada Allah swt. maka tradisikan kebaikan atau biasakan diri beramal saleh. Sebab, “Apa yang terus beulang-ulang kita lakukan akan meresap di hati”. Kata ketua OIAA itu.

Keempat, التواضع . Jadi, –kata TGB– jiwa “sami’na wa atha’na” itu tidak akan terbangun dari orang yang memiliki sifat sombong. Oleh sebab itu, buang jauh-jauh kesombongan dalam diri dan punahkan egoisme itu, maka barulah sifat itu akan lestari dan bersemai indah.

Kata ulama (kutip TGB) sifat التواضع inilah yang tidak ada pada orang-orang Bani Israil sehingga mereka sulit untuk Sami’na wa atha’na seperti yang digambarkan ayat di atas, justru mereka mengatakan “Sami’na wa ashaina” (kami dengar tapi tidak mentaati). Kesombongan mereka menutup kerendahan hatinya di hadapan Allah swt.

“Kesombongan dan sifat ‘Samina wa atha’na’ itu adalah ibarat minyak dengan air. Tidak akan pernah bisa menyatu.” Tegasnya.

Karena itu, TGB menasihati jamaahnya dan kita semua agar; mari membuka telinga untuk mendengarkan ilmu, mendengarkan nasihat dan hendaklah kita membuang kesombongan jauh-jauh.

Wa Allah A’lam!

Mataram, 7 Desember 2020 M.

 

Baca Selanjutnya

DARI PENULIS

BERITA TERKAIT

IKLAN

TERBANYAK DIBACA

BACA JUGA