Tradisi Ma’had, Bukan Hanya Sekedar Ilmu : Jadikanlah Akhlak Sebagai Tepung. Jadikan Ilmu Sebagai Garamnya

Tradisi Ma’had, Bukan Hanya Sekedar Ilmu : Jadikanlah Akhlak Sebagai Tepung. Jadikan Ilmu Sebagai Garamnya

Ada beberapa beberapa hal Maulana Syeikh sebagai pendiri yang perlu dicatat dalam tradisi Ma’had sebagai sebuah lembaga pendidikan agama, spesifik ke agamaan dan paling tertua dalam lingkungan Pondok Pesantren barang pasti beliau ingin menjadikan Darunnahdlatain, yang berpusat di Pancor Nusa Tenggara Barat. Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan sangat erat hubungan spritual beliau terhadap tradisi keilmuan yang dikembangkan di Ma’had, sudah

Ma’had ini sebagai rujukan sebuah refleksi salafiyah di tengah-tengah tradisi keilmuan lain yang diakomodasi oleh Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan. 

Sebagai akibat perkembangan zaman dan kondisi masyarakat yang terus berkembang sebagaimana pernyataan murakib Ma’had Ust. H. Lalu Anas Hasyri. 

Telaah terhadap kitab-kitab generasi awal merupakan bagian pal ing penting dalam tradisi keilmuan Ma’had. seperti fiqih, tauhid dan tasawuf Di Ma’had tidak pernah ditemukan karya-karya kontemporer sebagai kajian para thullab dan tholibat, doktrin kuat yang melandasi sikap ini mungkin bahwa generasi muslim awal adalah generasi yang masih bersih alias belum tercemar, sehingga apa yang dihasilkan oleh generasi itu masih tetap bersih dan bening Misalnya sejarah tentang pengarang kitab matan Al-jurumiyah dimana pengarangnya bernama Al Imam Assinhaji melemparkan kitab tersebut ke dalam laut untuk menguji kebersihan dan kebeningan hati sang pengarangnya. Banyak lagi kitab kitab sejenis yang anonim (tanpa nama pengarang-red) dari sebuah indikasi keikhlasan para pengarangnya, dan kitab-kitab tersebut menjadi kajian pokok para thullab dan tholibat di Ma’had

Pembahasan secara berjenjang dari matan sampai khasyiah me- rupakan sisi lain dari tradisi keilmuan yang dikembangkan Ma’had. Semua ini berlaku pada bidang ilmu yang dipelajari, disamping keharusan menghafal kitab-kitab matan dari sebuah cabang ilmu yang akan dijadikan pembahasan selanjutnya

Misalnya thullab dan tholibat Ma’had diharapkan mampu menghafal Alfiyah Ibnu Malik dalam Ilmu Nahwu dan Bahjatusaniyah Nahdlatuzzainiyah masing-masing dalam ilmu Tauhid dan ilum Faraid, bahkan sebelum pengajian inti dimulai para thullab dan tholibat Ma had selalu mentaqrir hafalan hafalan tersebut, alasan menghafal matan-matan dari sebuah kitab tersebut adalah untuk mempermudah santri dalam memahami kitab-kitab lain yang lebih dalam dan lebih luas pembahas annya.

Pemilihan materi kajian yang akan dipelajari di Ma had, tifikal materi-materi dari kaum salafiyah Perlu mendapat catatan juga bahwa Ma’had mempelajari materi keilmuan yang senantiasa mengacu pada pembinaan akhlak yang mulia. Hal ini dapat dibuktikan dengan dimunculkan nya materi utama dalam kajian tassawuf Ihya Ulumuddin yang dikarang oleh Imam Gazali dan materi ini secara khusus diberikan secara langsung oleh Syaikhul Ma had yaitu Bapak Maulana Syeikh. Bahkan sering kali materi pelajaran ini dianggap sebagai refresentasi dari semua materi keilmuan yang diajarkan di Ma’had Darul Qur’an Wal Hadits

Agaknya keberpihakan Ma had terhadap nilai-nilai moral dan sufisme Imam Al Gazali, diharapkan mampu menjadikan para thullab dan tholibat sebagai insan kamil, memiliki akhlak yang tinggi dan kepribadian yang luhur “Sebab masyarakat melihat tidak tanduk seseorang tidak mesti dia itu alim, nanti alimnya diketahui kemudi-an, banyak tullab dan tolibat Ma’had yang biasa-biasa saja, tetapi setelah terjun di masyarakat, justeru dia yang berbobot dan berwibawa. Ya Karena pembawaan, walaupun ilmu setinggi langit, tapi akhlaknya bobrok. bisa tidak dihiraukan orang, demikian

Ciri lain dari tradisi keilmuan Ma’had adalah kesinambungan silsilah dari ilmu yang akan diterima atau dipelajari (kitab siapa, dan bagaimana pengarangnya). Alasannya adalah bahwa kualitas keilmuan seseorang sangat ditentukan olch kesinambungan ini, dan juga dapat menjadi sebuah bukti dari penghormatan seorang murid kepada gurunya, sebagaimana Maulana Syeikh menyatakan hal ini dalam sebuah wasiatnya.

“Sebagaimana aliran yang kehilangan salah satu pipanya” Ungkapan beliau tersebut dapat diterjemahkan sebagai satu intraksi hubungan baik antara seorang guru dengan murid yang merupakan sebuah keniscayaan yang mutlak Hubungan tersebut bukan saja terjadi ketika guru mengajar kepada muridnya, akan tetapi hubungan tersebut juga tetap terjalin dengan para pengarang kitab yang sedang dipelajari Kondisi ini dapa terlihat di

Ma had dengan cara mengijazahkan kitab tersebut kepada para tullab dan tolibat yang telah dapat menyelesaikan kajiannya. Selain yang tersebut di atas. juga tetap untuk menjalin kesinambungan silsilah, para masyaikh dan para santri selalu berusaha mengamalkan do’a-do’a dan wirid-wind para ulama generasi awal tersebut.

Tradisi kedua yang meling ungkap seorang murakib Ma’had”. kupi kehidupan Ma’had adalah hormat dan ta’zim yang diberikan kepada seorang guru dan memang pelajaran awal yang diterima di Ma’had adalah sikap dan cara yang baik terhadap para guru yang mengajar mereka. Dalam suasana keseharian, para tullab dan tolibat ketika bertemu dengan para guru dan masyaikh ucapan awal yang terdengar adalah salam, kemudian berjabat tangan sambil mencium tangan guru tersebut. Kepatuhan tersebut bukan saja pada guru yang bersangkutan, tetapi juga terefleksi pada pengarang kitab dipelajarinya Karena pada prinsipnya, para pengarang juga termasuk guru karena kitab mereka selalu dibaca setiap saat, paling tidak, ketika mulai membaca atau mempelajarinya, selalu didahului oleh pengiriman do’a terhadap mereka (para pengarang tersebut).

Persoalannya, bukan pada guru dan musannif (pengarang) saja, tapi lebih ditekankan pada penghormatan terhadap ilmu itu sendiri, dengan harapan, ilmu yang mereka terima nantinya akan menjadi berkah dalam kehidupan Refleksi kepatuhan yang dikembangkan dalam tradisi keilmuan Ma’had, tercermin pula dalam kondisi keseharian para thullab dan tholibat dalam mem- perlakukan kitab-kitab mereka. Misalnya ketika menyusun kitab, senantiasa disesuaikan dengan tingkat kemulyaan dari kitab tersebut, Al Qur’an, tafsir disusun dengan rapi sesuai dengan tingkat kemulyaannya. Dan juga penempatan kitab yang selalu dibawa oleh santri dengan cara mendekapnya di dada dengan erat. 

Bentuk kepatuhan dan peng hormatan terhadap ilmu dan kitab- kitab tersebut dalam tradisi Ma’had, merupakan suatu keharusan yang diharapkan terus terlestarikan dengan baik para thullab dan tholibat Mahad yang akan mempelajari atau membawa kitab tersebut, diharapkan suci (berwudlu) terlebih dahulu sebelum membaca atau menyentuhnya atau bahkan kalau memungkinkan, para thullab dan tholibat dianjurkan shalat sunnah dan berdo’a terlebih dahulu sebelum memulai mengaji Dengan cara tersebut diharapkan ilmu yang akan diperoleh mendapat berkah dan dapat bermanfaat Di Ma’had, bukan hanya sekedar mencari ilmu, tetapi lebih dari itu, adalah bagaimana ilmu tersebut menjadi ilmu yang barokah dan bermanfaat bagi kehidupan,

demikian ungkap Ustadz H. Lalu Anas Hasyri, alumnus madrasah As Shaulathiyah Makkah dan saat ini mengajar di Ma’had

Bagian ketiga dari tradisi Ma’had, ketekunan menjalankan ibadah Para thullab dan tholibat Ma’had sangat dianjurkan untuk selalu tetap melaksanakan shalat-shalat sunnah serta wind-wind tertentu, tidak jarang para thullab dan tholibat Ma’had yang sanggup bangun tengah malam untuk melaksanakan ibadah dn belajar

Tradisi ke empat yang cukup khas dan signifikan bagi kondisi Ma’had, adalah tradisi cerimonial Pakaian serba putih, harus bercukur ketimis, merupakan salah satu dari nuansa keseharian para thullab dan tholibat, dan kondisi seperti ini diharapkan mampu mencerminkan kebersihan lahir dan bathin dalam segala asfek kehidupan Khusus mengenai duduk bersila, seorang murakib dan juga alumnus ketiga Ma had mengatakan “Cara belajar dengan duduk bersila terasa lebih mantap. Kalau duduk bersila. perasaan kita betul-betul mengajar, mendidik dan membimbing”. Tradisi cerimonial ini, hanya ada di Ma’had dan adanya semacampengesahan sebagai pertanda syah dan diterima menjadi civitas akademika Ma’had, harus melalui tanda tangan Bapak Maulana Syeikh di kepala plontos setiap thullab dan tholibat Ma’had yang baru (Din, Mif Zen)

 

(No 2/Th I/Sya’ban – Syawal/1415H No 2/Th 1/Januari – Maret/95) 

Baca Selanjutnya

DARI PENULIS

BERITA TERKAIT

IKLAN

TERBANYAK DIBACA

BACA JUGA