Oleh: M. Rusli Nasir
Pondok Pesantren Selaparang adalah salah satu sumber ilmu tertua di tanah Lombok. Penanaman dan transpormasi ilmu-ilmu agama telah berlalu ratusan tahun silam.
Betapa tidak, antar generasi ke generasi berikutnya secara intens mengajar anak-anak ketururnan mereka untuk mengaji kitab suci, mengkaji kutub at-Turast (kitab kuning) dan mencontohkan akhlak yang utama.
Pengaplikasian sunnah-sunnah Rasul saw. dipastikan telah mendarah daging di tengah keluarga Bangsawan Pedaleman Kediri Lombok Barat itu.
Cara memberi salam, berucap, bertutur kata, ramah dan pemaaf, pandai menjamu tamu, dan pantang menyakiti perasaan orang lain, adalah bagian dari sunnah-sunnah Nabi saw. yang menjadi rutinitas dan ciri khas, yang bisa kita lihat jelas di bongkahan bumi Pedaleman sampai kini.
Singkatnya, hal-hal baik dari tuntunan agama telah mentradisi. Telah tertranspormasi dari generasi ke generasi.
Hal-hal baik itu ditambah semaraknya dengan kehadiran organisasi Nahdlatul Wathan (NW) yang hadir di Kediri dengan berkat penerimaan Syaikh TGH Abdul Hafidz Sulaiman, dengan membawa tradisi-tradisi ke-NW-annya.
Melalui tulisan ini, saya bisa memotret bagaimana wajah pembumian atau pentradisian nilai-nilai baik dari tradisi-tradisi ke-NW-an di Yayasan Islam Selaparang Kediri Lombok Barat.
Hal-hal baik atau tradisi-tradisi ke-NW-an yang dimaksud seperti berikut ini:
Pertama, pembacaan Shalawat Nahdlatain membumi dan mentradisi di Pondok Pesantren Selaparang. Buktinya, para santri sudah “méngé” (mengerti) akan berdoa dengannya pada setiap memulai mudzakarah, mengaji, muhadarah, dan acara-acara kegiatan lainnnya.
Kedua, pembacaan Fatihah-tahihah dengan menggunakan susunan yang ada di kitab Hizib Nahdlatul Wathan. Bacaan fatihah-fatihah ini biasanya dibaca santri Selaparang sebelum membaca shalawat Nahdlatain.
Selain itu, Fatihah-tahihah ini juga rutin dibaca setiap selesai shalat wajib. Atau kalau ada undangan “roah” (zikiran) di masyarakat, juga menggunakan Fatihah-tahihah tersebut.
Dan tentu, santri juga “kreatif” dalam membaca –khusus– Fatihah kedua. Artinya, santri menggandeng bacaan Fatihah untuk Syaikh TGH Abdul Hafidz Sulaiman selaku Pendiri Pondok Pesantren Selaparang dengan Maulana Syaikh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid selaku pengarang hizib.
Ketiga, pembacaan doa pusaka. Pembacaan doa ini dipastikan Anda bisa mendengarnya setiap saat selesai shalat subuh di asrama santri. Terlebih, di Ma’had Zainul Hafidz Selaparang menjelang pulang. Atau, juga pada saat acara-acara besar semisal pada hari Asyura, Nuzul al-Qur’an dan lainnya.
Bahkan, pembacaan doa pusaka tersebut lengkap dari ربنا انفعنا بما علمتنا sampai akhir. Ditambah dengan pembacaan bait-bait syair mujarab yang direkomendasikan Maulana Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyat, dengan diawali;
رب قني ومن يحبني كذا # مشايخي من شر حاسد إذا
بحق افتح بيننا وقومنا # وأنت خير الفاحين ربنا
Selanjutnya yang keempat dan kelima, barzanji dan hiziban. Dua tradisi ke-NW-an ini menjadi program utama di asrama. Keduanya terjadwal masing-masing sekali semingggu. Hiziban pada malam Jum’at dan barzanji malam Senin. Berhizib dan berzanjian secara berjamaah dan menggunakan pengeras suara.
Sehingga berkatnya, masyarakat sekitar pun dapat mendengar lantunan kalimat-kalimat pujian kepada Rasulullah, dan untaian bahasa doa yang keluar dari mulut-mulut mulia, para pencari Cahaya Tuhan, yang mereka dipastikan –kata Nabi– sedang berteduh di bawah naungan sayap malaikat.
Selain itu, tradisi ke-NW-an –keenam dan ketujuh– berupa membaca بسم الله وبحمده pada setiap mulai ceramah sebelum salam, juga menjadi ciri khas santriwan/santriwati Pondok Pesantren Selaparang.
Ke-NW-an mereka juga nampak jelas pada saat penyampaian pembuka pidatonya dengan memakai shalawat “Ishlah al-Ummah”.
اللهم أصلح أمة محمد صلى الله عليه وسلم وفرج عن أمة محمد صلى الله عليه وسلم وارحم أمة محمد صلى الله عليه وسلم وانشر واحفظ وأيد نهضة الوطن في العالمين بحق محمد صلى الله عليه وسلم .
Kedelapan, tradisi ke-NW-an seperti “Ihtiraman” (penghormatan) kepada para asatidz mereka yang datang mengajar atau seyiap masuk kelas.
Kesembilan, tradisi ke-NW-an yang biasa semisal mengusap wajah saat salam selesai shalat juga menjadi ciri khas santri Pondok Pesantren Selaparang. Tradisi Ke-NW-an yang ringan dan mudah, tapi telah mentradisi di kalangan mereka.
Kesepuluh, pemajangan foto Maulana Syaikh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid di setiap kelas menjadi sebuah keharusan sejak dahulu. Terlebih sekarang, setelah Maulana Syaikh q1 sebagai Pahlawan Nasional.
Bahkan, saat saya masih Sanawiah dan Aliah beberapa tahun lalu, kita biasa sebelum masuk kelas, kumpul di lapangan dan menyanyikan lagu “Kami Benihan Nahdlatul Wathan yang setia, mengorbankan jiwa membela Nusa dan Bangsa…..”.
Demikianlah beberapa fakta bersemainya dan membuminya tradisi ke-NW-an di Pondok Pesantren Selaparang Kediri Lombok Barat.
Sampai di sini, mungkin ada yang bertanya; “Kenapa tradisi ke-NW-an demikian mentradisi di Yayasan Pondok Pesantren Selaparang padahal namanya tidak berlabel NW?”.
Jawabannya, karena Pendiri Pondok Pesantren Selaparang yakni Syaikh TGH Abdul Hafidz Sulaiman adalah bagian dari keluarga besar Nahdlatul Wathan. Dalam perjalanan hayat Sang Syaikh pernah sebagai Pengurus Besar Nahdlatul Wathan (1 Februari 1960). Lihat biografinya!
Selain itu, putra-putra beliau seperti Raden TGH. L. Mahsun Abdul Hafidz dan Ust. H. L. Muhsin Abdul Hafidz, juga pernah lama mengenyam pendidikan di madrasah Darunnahdatain NW Pancor dahulu, sebelum ada Ma’had Darul Qur’an wal Hadis (MDQH NW Pancor).
Adapun, mengapa nama Yayasan Islam Selaparang tidak berlabel NW?,
Jawabannya sudah penulis rilis beberapa bulan lalu (bisa dibaca di berada facebook saya tahun 2019) dengan judul, “History Selaparang Ber-Perguruan NW”. Bila berkenan bisa ditelusuri!
Wal hasil, dari apa yang saya tulis ini, semoga sedikit banyak menjadi tambahan pengetahuan kita bersama, bahwa nilai-nilai ke-NW-an masih ada membumi di bongkahan semesta, sekitaran wilayah Kediri Lombok Barat, khususnya di Yayasan Islam Selaparang.
Wa Allah A’lam!
Bilekere, 29 September 2020 M.