Perjuangan dan Cinta Demi Terangi Papua

Perjuangan dan Cinta Demi Terangi Papua

Baru beberapa hari lalu, saya memutuskan untuk mengakhiri satu hubungan pertemanan dengan salah seorang yang paling berarti selama saya di Papua. Bukan karena terlalu kesal tapi karena terlalu sayang hingga akhirnya kami (atau saya) merayakan perpisahan dengan cerita kejujuran. Selain kenangan, dia adalah salah satu orang yang tersisa dari ekspedisi saya di Papua.

Demi alasan kebaikan untuk hubungan masing-masing, saya tepatnya, harus memutus segala orbit yang selalu membuat kami selalu bersinggungan dan menyatu hingga khawatir akan meledakkan dan menghancurkan dimensi kami masing-masing. Saya memilih abai terhadap apa yang dia pikirkan soal perpisahan kami dan dengan egois saya katakan ini pilihan terbaik. Daripada harus saling kembali satu sama lain dan tanpa pernah ada tujuan.

Dia yang paling menghangatkan menjadi cerita tersendiri di Papua yang saya bawa ke Jakarta, sampai entah bagaimana kerap kali menjadi materi bulan-bulanan teman-teman ke saya. Ya, saya tak pernah membawa hubungan pribadi saya sebelumnya, seperti saya menyeretnya ke cerita-cerita di klub-klub pertemanan saya. Apa perlu cerita dia? tidak. Dia sudah cukup jadi pelajaran dan sejarah.

 

Jadi, ekspedisi dimulai pagi itu. Akhirnya! meski saya menyesali karena saya hanya punya waktu satu hari untuk ikut survei tapi tak mengapa daripada tidak ada ya. Untuk menuju Obano kami harus naik dulu perahu Johnson dari Danau Paniai. Angin begitu kencang kala itu untung ombak sedikit bersahabat. Butuh waktu sekitar hampir 1 jam untuk ke Obano hingga akhirnya sampai, tentu tetap dikawal para prajurit.

 

Sampai di sana perasaan kami meluap-luap, meski bawa barang berat seperti makanan untuk tim,poster dan macem-macem kami sangat bahagia sampai kami bernyanyi-nyanyi. Saya pun mengabadikan semuanya melalui kamera, segala nyanyian penyemangat Nona Manis sampai Rasa Sayange menjadi lagu yang dilantunkan dengan riang selama perjalanan menuju markas TNI terdekat untuk koordinasi lebih lanjut. Sapaan hangat pun kompak kami sampaikan kepada penduduk sekitar sembari tersenyum lebar-lebar kala itu. Seperti segala penantian lama akhirnya kami benar-benar mengabdi.

Rompi alias safety vest kami yang berwarna oranye mencolok mata ditambah jaket yang juga sewarna cukup membuat orang-orang ramai-ramai menonton kami, apalagi di wilayah pedalaman seperti itu. Jadi geli sendiri kalau ingat betapa kami jadi tontonan warga dengan raut muka keheranan. Sampai di Obano sebelum benar-benar menyebar di beberapa tempat kami berdoa memohon keselamatan. Saya pikir saya tadinya akan bersama para mahasiswa ternyata malah harus berbeda sendiri, harus ikut sama kepala-kepalanya masuk hutan dan menghitung jumlah tiang listrik. Lucu yak wkwkw tapi penghitungan ini penting untuk tahu bagaimana cara menyambung listrik ke daerah yang belum terang.

Bukan cuma itu kami juga singgah di desa-desa mempelajari profilnya dan jumlah penduduknya. Jalanan menuju ke sana rusak parah ditambah turunan dan tanjakan terjal. Kami yang cuma pakai mobil TNI pikap pun terpental-pental, merosot ke kanan kiri depan belakang. Apalagi saya yang perempuan sendiri dengan tubuh mungil ini kebayang hebohnya. Tapi lagi, sang penjaga kami tak tinggal diam. Dia tahan kaki saya agar tak merosot. Saya tersenyum atas apa yang dia lakukan. Kind of sweet (sadar woi itu tugas TNI).

 

Sampai di titik pemberhentian pertama, saya dibuat tercenung dengan tulisan-tulisan di salah satu gardu. Tulisannya propaganda OPM hmm..di aset negara seperti ini mereka tetap menyuarakan kemerdekaan. Padahal mereka sudah diberi listrik dan jalan yang mulus. Soal ini, TNI teman saya memang suka misuh-misuh. Dia bilang orang-orang KKB itu tidak tahu terima kasih padahal negara sudah mau bantu tapi mereka cuma minta uang uang terus di balik topeng kemerdekaan. Iya, bagi kalian yang pernah ke sana pasti tahu tahu kasus-kasus nabrak babi denda ratusan juta, darah dibalas darah, mau dibangun listrik dan jalan mereka malah malak pemerintah. “Jadi mereka sendiri yang gak mau daerahnya dibangun,” Itu masih soal kondisi sosial belum keamanannya yang bikin teman TNI saya justru marah dengan LSM yang sok sok bicara HAM. “Mereka gak tahu kami mau mati kayak gimana. Mereka malah ngomong HAM. T*I!” Mendengar segala keluh kesahnya sejak muda dia bertugas di sini membuat saya senyum, memaklumi segalanya.

Bukan saya namanya kalau tidak membuat pekerjaan menegangkan ini jadi menyenangkan. Makanya saya serahkan kamera saya ke teman TNI saya dan meminta dia memotret sembari saya bersenang-senang melompat-lompat di bawah tiang listrik yang kami amati. wkwkw. Saya pun berpose ala jagoan saat berfoto dengan bapak TNI yang memegang senjata dengan garangnya. Tidak terpengaruh dengan seberapa konyolnya saya, muka dia tetap kencang. Ampun Pak.

Arah pulang kami berhenti lagi, kali ini ada bagunan baru berwana biru yang mecolok di tengah pedalaman seperti ini. Kami berhenti karena penasaran. Ternyata akan dibuka museum di sini. Seriously, siapa yang mau datang dengan akses jalan sesulit ini. Sungguh aneh pikir saya. Di dalamnya ternyata dipajang aneka hasil budaya masyarakat pedalaman seperti noken, gelang akar dan lain-lain. Mereka juga menjual wisata budaya karena di depannya ada sekelompok suku adat yang masih terpelihara. Hm.. saya jujur bingung apa bisa segala yang ada di sini bisa sampai ke masyarakat luas. Jujur saya merasa aneh. Lalu saya dibisiki, katanya biasanya ini akal-akalan supaya dana terserap dan ada bukti pembangunan. Ya, tapi seharusnya ga salah sasaran gini sih.

 

Belum selesai dengan keheranan saya, kami sudah berhenti lagi di satu desa. Desa yang yang pintu masuknya dipasang kayu tinggi-tinggi seperti masuk ke dalam suatu kompleks rumah. Ternyata mereka memang sengaja memagari supaya babi-babi peliharaan tidak keluar. Anak-anak berlarian, mereka melihat kami bak alien yang aneh. Saya pun balik memandangi mereka yang tak beralas dan kumal. Saya meringis ngeri ketika para penduduk desa mulai menjadikan peniti sebagai anting-anting mereka. Peniti-peniti besar itu sudah berkarat, terbayang bahaya infeksi yang mengintai mereka.

 

Selepas mendapati profil desa, saya memutuskan untuk turun dari mobil dan menyeberang kali kecil dengan menyeker. Coba apa yang saya lakukan? sengaja turun untuk mengambil shot foto mobil melewati kali kecil ini biar videonya dramatis. Sungguh intuisi profesional sang videografer hahha… Saat arah kembali kami mengangkut beberapa warga. Bau minyak babi di tubuh mereka benar-benar terasa. Ini salah satu cobaan yang mesti dilalui dengan sabar sambil terus mengulas senyum.

 

Saya juga belakangan baru dibisiki ternyata, TNI sengaja membawa serta para warga untuk mengantisipasi mobil kita ditembaki. Ya, ternyata wilayah yang saya masuki adalah zona merah yang bisa saja saya masuk lalu dihabisi. Informasi ini membuat saya kembali menahan napas sekaligus melepasnya dengan lega karna berhasil selamat.

 

Kami ternyata adalah kelompok pertama yang sampai lalu kemudian satu demi satu kelompok berdatangan. Ada perasaan haru ketika mereka kembali, seperti ingin memeluk mereka satu-satu dan bertukar cerita soal keseruan kami. Lalu satu kelompok membawa buah yang mirip jambu biji katanya enak saya comot dan makan dan ternyata… asem bangett hahaha. Buah apa ini! Lalu saya ambil beberapa buah untuk dibawa pulang, bukan untuk dimakan tapi untuk mengerjai orang wkwkw.

Beberapa warga juga datang, seorang warga yang mengaku berpendidikan tiba-tiba minta dibangunkan pembangkit tenaga nuklir. Wadaw sungguh panjang angan ya. Tapi kami dan para relawan lain cukup bijak menerima permintaan aneh-aneh dari warga ini, hehe.

 

Sebelum pulang masih ada satu daerah lagi yang harus didatangi, belum juga sampai mobil kami terperosok di jembatan kayu. Lalu warga ramai-ramai membantu, baiknya. Sampai di sana, warga berkumpul, ibu-ibu dengan noken menggendong bayi menjadi pemandangan yang biasa tapi bagi saya itu unik dan menggemaskan. Kami pun pulang ke Enaro dan saya besoknya pulang ke Nabire dan ke Jakarta, Ugh perih hati ini meninggalkan semuanya.

Pulang pun deg-degan terjadi karena perahu saya mati di tengah danau, gerimis mulai turun, awan menggelap dan saya tentunya diliputi kekhawatiran. Tapi itu tidak berlangsung lama, huh leganya. Sampai di sana saya masih harus itvw beberapa mahasiswa. Sambil menahan menggigil saya itvw mereka yang tetep semangat dan antusias terhadap perjalanan kami. Saya yang masih punya sisa-sisa tenaga pun mengiayakan saat sampai di Enaro, abang driver mengajak saya ke Tanah Merah.

 

Tanah yang dulu benar-benar menjadi pertumpahan darah antara sipil dan TNI. Tanah yang saya selalu ceritakan dalam berita-berita yang saya tulis dan ternyata akhirnya saya menjejak di sana. Tanah ini saksi betapa perih konflik itu hingga menyebabkan banyak nyawa melayang. Lamunan saya buyar, saat anak-anak mahasiswa yang saya bawa serta heboh menaiki-naiki tanah yang berupa bukit ini. Ya, di balik kelamnya daerah ini, ternyata daerah ini sungguh mempesona karena bisa melihat kota dari atas bukit ini. Sungguh indah.

Tak menyangka, kedatangan saya ke sini ternyata membuat murka temen TNI saya karena kami datang tanpa penjagaan. Sungguh itu sesuatu keputusan implusif yang saya buat. Dia sibuk meracau karena khawatir akan saya, apalagi dengan trackrecord daerah ini. Haha saya pun senyum dan menenangkan dia, meski sebenarnya saya degdegan juga karena merasa beruntung tak terjadi apapun.

 

Malam itu pun selepas makan malam, kami berkumpul mengumpulkan sebanyak-banyaknya cerita dan kenangan serta saling bertukar dokumentasi foto. Di malam dengan dingin menyengat itu, saya benar-benar merasa hangat dengan segala tawa dan cerita dan kelompok ekspedisi ini. Terima kasih segalanya, bisik saya.

Esok paginya saya ditelepon teman saya di Nabire yang juga sesama jurnalis. Dia memutuskan duluan pulang ke Jakarta sementara saya masih tertinggal. Padahal rencananya kalau pulang bersama kami mau jalan-jalan dulu ke Jayapura. Tapi gagal. Pulang ke Nabire saya berpamitan dengan para relawan dan mahasiswa. Saya tak sempat menyalami mereka satu-satu karena mereka sibuk sarapan dan tak mau berlama-lama takut menangis. Hiks.

Ternyata hasil bersikeras saya meminta pengawal TNI saat pulang beberapa hari lalu membuahkan manfaat. Saya gagal dipalang alias dipalak 3 kali orang orang-orang sana. Mereka yang tiba-tiba menaruh kayu di tengah jalan atau memalang mobil kami dengan bambu sontak kaget karena ada tentara di jok depan mobil dengan senjata moncong panjang dan mereka pun buru-buru membuka palang-palang itu. Hmm…. rasain. Walaupun ada beberapa pemalak kesal karena mobil sipil kami membawa serta TNI sampai berteriak-teriak lalu digebrak balik sama bapak TNI wkwkwk.

 

Abang driver saya masih tetap baik sama saya, dia bilang kamu harus foto di sini. Haha… sebenarnya saya sudah cukup berfoto tapi tampaknya dia ingin papua begitu dikenang oleh saya. Makanya dia menurunkan saya dan jepret jepret segala pose aneh pun terpotret. Hahaha…

 

Kami sampai di Nabire dengan kelelahan luar biasa karena perjalanan sampai 6 jam.Malam harus makan malam dan besoknya harus pulang ke Jakarta. Ketar ketir juga pas mau ke bandara karena ternyata yang jemput belom pada bangun. Asyem. Untung ga ketinggalan pesawat. Saya juga kaget saat tahu saya dikasih kelas bisnis ke Jakarta, kalau dihitung-hitung harganya lebih dari gaji saya wkwkw. Mungkin ini imbalan karena waktu kerja saya lebih dari yang lain termasuk hitungan risiko yang lebih parah dari yang lainnya.

Sambil membawa senyum, saya pulang ke Jakarta. Sederet potret papua berkelibatan di ingatan saya sampai saat ini. Saya tak menyangka sekalinya saya ke Papua, perjalanan saya begitu bermakna dan menyenangkan. Saya pun bersyukur untuk banyak hal yang terjadi di hidup, termasuk perjalanan ini. Terima kasih Allah-ku . Love love. Videonya lihat dibawah ini

 

Blog Tyatutu

Baca Selanjutnya

DARI PENULIS

BERITA TERKAIT

IKLAN

TERBANYAK DIBACA

BACA JUGA