PEMIKIRAN TEOLOGI AL-MU’TAZILAH DAN AL-SYI’AH
Sebelum lanjut mengetahui pemikiran dan kedua aliran ini, apa kalian tahu tentang apa sebenarnya dua aliran ini dan bagaimana terbentuknya.
Mu’tazilah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam yang dikenal bersifat rasional dan liberal. Ciri utama yang membedakan aliran ini dari aliran teologi Islam lainnya adalah pandangan-pandangan teologisnya yang lebih banyak ditunjang oleh dalil-dalil ‘aqliah (akal) dan lebih bersifat filosofis, sehingga sering disebut aliran rasionalis Islam. Mu’tazilah didirikan oleh Wasil bin Atha’ pada tahun 100 H/718 M.
Mu’tazilah merupakan aliran rasional yang membahas secara filosofis problem-problem teologis yang tadinya belum ada pemecahan. Dengan nama studi tentang akidah, Mu’tazilah sebenarnya juga membahas masalah moral, politik, fisika dan metafisika. Mereka membentuk suatu pemikiran yang berkonsentrasi membahas masalah Tuhan, alam dan manusia.
Syi’ah dalam sejarah pemikiran Islam merupakan sebuah aliran yang muncul dikarenakan politik dan seterusnya berkembang menjadi aliran teologi dalam Islam. Sebagai salah satu aliran politik, bibitnya sudah ada sejak timbulnya persoalan siapa yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah. Dalam persoalan ini Syi’ah berpendapat bahwa yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah adalah keluarga sedarah yang dekat dengan Nabi, yaitu Ali bin Abi Thalib dan harus dilanjutkan oleh anaknya, Hasan dan Husen, serta keturunan-keturunannya.
Syi’ah muncul sebagai salah satu aliran politik dalam Islam baru dikenal sejak timbulnya peristiwa tahkim (arbitrase). Sementara Syi’ah dikenal sebagai sebuah aliran teologi dalam Islam, yaitu ketika mereka mencoba mengkaitkan iman dan kafir dengan Imam, atau dengan kata lain ketaatan pada seorang Imam merupakan tolok ukur beriman tidaknya seseorang, di samping paham mereka bahwa Imam merupakan wakil Tuhan serta mempunyai sifat ketuhanan.
A. Sejarah Aliran Muktazilah
Muktazilah merupakan salah satu cabang aliran Islam yang mengedepankan akal atau rasionalistik. Aliran ini muncul pada abad ke-2 Hijriyah pada masa ulama Tabiin Imam Hasan Al-Bashri. Muktazilah berasal dari kata “i’tizal” yang artinya memisahkan diri. Muktazilah merupakan aliran yang banyak terpengaruh oleh pemikiran filsafat barat, sehingga aliran ini cenderung menggunakan rasio (akal) sebagai dasar pemahamannya. Aliran Mu’tazilah cenderung mengedepankan otoritas akal (nalar/Aqli) daripada Naqal (dalil syar’i). Sehingga mayoritas Muslim memandang paham ini sangat berbahaya. Salah satu ajaran Muktazilah berpendapat bahwa Al-Qur’an yang merupakan kalam Allah adalah makhluk. Sejarah Lahirnya Muktazilah Lahirnya aliran Muktazilah pertama kali muncul di Basrah, Irak, pada Abad 2 Hijriyah. Sejarah munculnya aliran ini bermula dari pendapat Washil bin Atha’ (700-750 M) dan dan Amr bin Ubaid. Keduanya terlibat perdebatan dengan Imam Hasan Al-Bashri mengenai status dari pelaku dosa besar. Perdebatan ini terjadi di satu majelis yang dipimpin Imam Hasan al-Bashri di Masjid Basrah. Washil bin Atha dan Amr bin Ubaid mentatakan bahwa pelaku dosa besar bukanlah dalam status mukmin maupun kafir. Karena jawaban itu, Imam Hasan Al-Bashri kemudian mengeluarkan mereka dari majelisnya. Keduanya pun mengasingkan diri pada salah satu pojok Masjid Bashrah. Sejak saat itulah Washil bin Atha dan Amr bin Ubaid mulai berdakwah dan kemudian mempunyai pengikut yang disebut Muktazilah. Penamaan itu didasarkan pada sebuah perbedaan pendapat kedua tokoh ini dibandingkan dengan pendapat mayoritas umat Islam pada masa itu.
1. Tokoh-Tokoh Aliran Mu’tazilah
Wasil Bin Atha.
Wasil Bin Atha merupakan pelopor ajaran mu’tazilah. Ada tiga ajaran pokok yang dicetuskan oleh Wasil bin Atha, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham qadariyah (yang diambilnya dari ma’bad dan gailan, dua tokoh aliran qadariyah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Mu’tazilah, yaitu al manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
b. Abu Huzail al-Allaf
Abu Huzail al-‘Allaf (wafat 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama dikota Bashrah (Iraq). Melalui sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi Negara. Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof islam.
Ia banyak mengetahui falsafah Yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bercorak filsafat dan rasionalitas. Diantaranya ia membuat uraian mengenai pengertian Nafy as-sifat.
Ia menjelaskan bahwa” Tuhan Maha Mengetahui” dengan pengetahuannya dan pengetahuannya itu adalah dzat-Nya bukan sifatnya, Tuhan Maha Kuasa dengan kekuasaannya dan kekasaannya itu juga dzat-Nya bukan sifatnya dan begitu seterusnya.
Penjelasan dimaksudkan oleh Abu Huzail untuk menghindari adanya yang qadim selain Tuhan, karena menurutnya jika dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar dzat Tuhan), berarti sifatnya itu qadim ini akan membawa kepada kemusyrikan.
c. Al-Jubba’i
Al-Jubba’I ialah guru Abu Hasan al- Asy’ari pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah, sifat Allah, kewajiban manusia, dan daya akal. Ia mengatakan bahwa Allah tidak mempunyai sifat.
d. An-Nazzam
Pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha adil, maka ia tidak berkuasa untuk berlaku dzalim. Pendapatnya ini lebih ekstrim jauh dari gurunya, Al-Allaf.
Jika Al-Allaf mengatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat dzalim kepada hambanya, maka An-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat dzalim.
Ia berpendapat bahwa perbuatan dzalim hanya dilakukan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian.
e. Al-Jahiz
Al- Jahiz Abu Usman bin Bahar mengemukakan paham kepercayaan akan hukum alam (naturalism) yang oleh aliran Mu’tazilah disebut Sunatullah. Ia menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, melainkan ada pengaruh hukum alam.
f. Mu’amar bin Abbad
Pendapatnya tentang kepercayan pada hukum alam dan pendapatnya ini sama dengan pendapat Al-Jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi.
Adapun sesuatu yang datang pada benda-benda itu adalah hasil dari hukum alam. Contohnya, jika sebuah batu dilontarkan ke air maka gelombang air yang dihasilkan oleh batu yang dilempar merupakan hasil dari kreasi batu itu sendiri bukan hasil ciptaan atau kehendak Tuhan.
g. Bisyr al- Mu’tamir
Ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi perbuatan dosa besar, akan mendapan siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
h. Abu Musa al-Mudrar
Al- Mudrar dianggap sebagai pemimpin Mu’tazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengkafirkan orang lain. Menurut Asy Syahrastani, Al-Mudrar menuduh semua orang kafir yang mempercayai keqadiman Al-qur’an. Al Mudrar juga mengatakan bahwa di akhirat Allah tidak dapat dilihat.
Ajaran Mu’tazilah pada dasarnya adalah lebih mengedepankan akal dari pada wahyu, sehingga mereka mengandalkan rasionalitas. Dan pada faktanya didalam diri aliran mereka sendiri banyak sekali perbedaan pandangan pokok. Dan itu salah satu bukti bahwa dokktrin dan pandangan mereka bisa dikatakan sesat dan menyesatkan. Seperti pandangan bahwa semua perbuatan manusia tidak ada sangkut pautnya dengan Tuhan.
B. Sejarah aliran syiah
kata Syiah secara etimologi berasal dari kata syi’i yang berarti pengikut, pecinta, pembela kelompok tertentu. Kata Syiah juga bisa berakar dari kata tasyaiyu’ yang bermakna mematuhi dengan penuh keikhlasan tanpa keraguan sedikitpun.
Sedangkan secara terminologi, Husain Thabathaba’i yang merupakan ulama tafsir beraliran Syiah, mengartikan Syiah sebagai salah satu aliran dalam Islam yang berkeyakinan bahwa orang yang paling berhak menjadi imam umat Islam setelah Nabi Muhammad wafat adalah ahlul bait Nabi Muhammad sendiri, yaitu Ali bin Abi Thalib.
M Quraish Shihab yang mengutip pendapat Jawad Maghniyah dan al-Jurjani, mengatakan Syiah adalah pengikut Imam Ali bin Abi Thalib dan mempercayai bahwa Ali adalah imam sesudah Rasulullah yang ditetapkan secara nash atau pasti. Kelompok ini juga percaya imamah juga berasal dari keturunan Ali. Definisi ini, menurut Shihab, hanya mencerminkan sebagian dari golongan Syiah, bukan keseluruhan.
Sejarah perkembangan Syiah, awal-awal kemunculannya aliran ini adalah sesudah Nabi Muhammad SAW wafat.
Awal Kemunculan Syiah
Masih dari sumber Jurnal Akademika Vol 16 No 1 tahun 2022, menukil jurnal karya Oki Setiana Dewi, ada lima teori tentang kemunculan syiah, yaitu:
Syiah sudah muncul sejak masa Rasulullah, bahkan beliau dianggap yang menanamkan benih kesyiahan kepada umat Islam.
Syiah muncul setelah wafatnya Rasulullah, yakni munculnya dukungan agar Ali sebagai khalifah. Teori ini didukung Ibnu Khaldun, Ahmad Amin, Hasan Ibrahim, dan al-Ya’qubi.
Syiah muncul pada masa khalifah Usman bin Affan. Teori ini didukung oleh Ibnu Hazm.
Syiah muncul pada masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Teori ini didukung Naubakhti dalam kitab Firaq al-Syi’ah dan Ibnu Nadhim dalam kitab al-Fihrist.
Syiah muncul pada peristiwa Karbala, yakni perang antara Husain bin Ali dengan pasukan Dinasti Umayah. Teori ini didukung Kamil Musthafa al-Syaibi dalam kitab al-Silah.
Terkait perbedaan teori di atas, diperlukan pembeda antara Syiah sebagai ajaran dan Syiah sebagai suatu kelompok.
Ajaran Syiah diyakini sudah ada sejak masa Rasulullah sebagai konsekuensi langsung dari formula gerakan dakwah yang bertujuan menjaga perjuangan Rasulullah dan dilanjutkan ahlul bait. Sedangkan kelompok Syiah muncul setelah Rasulullah wafat karena adanya perbedaan ideologi kepemimpinan dengan mendukung Ali sebagai orang yang paling berhak melanjutkan kepemimpinan umat Islam.
Pada hari Rasulullah wafat, sejumlah sahabat senior bermusyawarah tentang kekhalifahan. Hasilnya, mereka mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah kaum muslimin. Ali dan pengikutnya awalnya enggan berbaiat kepada Abu Bakar, tapi untuk menghindari perpecahan di tubuh umat Islam, Ali akhirnya berbaiat kepada Abu Bakar. Dari situlah kelompok Syiah muncul, yakni kelompok pendukung Ali. Ali dianggap lebih berhak menjadi khalifah karena memiliki kedekatan dan hubungan kekeluargaan dengan Rasulullah. Keyakinan tersebut berdasarkan hadis-hadis sebagai isyarat tegas penunjukan Ali bin Abi Thalib sebagai penerus Rasulullah.
Kemudian Syiah muncul sebagai gerakan politik yang progresif ketika terjadi Perang Shiffin antara Ali dan Muawiyah. Perang ini berakhir dengan tahkim atau arbitrase. Sejak saat itu, Muawiyah memainkan propaganda politik yang merugikan Ali beserta pengikutnya.
Kemudian peristiwa pembunuhan Ali oleh Ibnu Muljam, keturunan Ali juga dibantai Bani Umayah, membuat simpati kepada Ali dan ahlul bait semakin mendalam. Syiah pun menjadi gerakan politik yang setia mendukung Ali dan keturunannya sebagai penerus kepemimpinan Nabi Muhammad.
2. Tokoh-tokoh Syiah
Di antara tokoh Aliran Syiah yang terkenal adalah :
Abu Dzar al Ghiffari, Miqad bin Al aswad, Ammar bin Yasir dan sejumlah ulama yang menyatakan diri sebagai keluarga Nabi Muhammad saw (Ahlul Bait).
Syiah telah terbagi dalam kelompok yang jumlahnya hampir tak terhitung. Secara umum mereka terbagi menjadi empat golongan, yaitu:
Syiah ghulat
Seorang ulama ahlussunnah, muhammad abu zahrah, mengatakan kelompok syiah ektremis ini hampir dapat dikatakan telah punah. Di dalam syiah ghulat terdapat beberapa golongan, yakni as-sabaiyah, al-khaththabiyah, al-ghurabiyah, al-qaramithah, al-manshuriyah, an-nushaiziyah, al-kayyaliyah, al-kaisaniyah, dan lainnya.
Menurut asy-syahrastany, as-sabaiyah adalah pengikut abdullah bin saba’ yang konon pernah berkata kepada sayyidina ali: yang berarti “engkau adalah tuhan”. Ia juga menyatakan sahabat nabi ini memiliki tetesan ketuhanan.
Sementara al-khaththabiyah adalah penganut aliran abu al-khaththab al-asady yang menyatakan imam ja’far ash-shadiq dan leluhurnya adalah tuhan. Sementara imam ja’far mengingkari dan mengutuk kelompok ini. Lantaran sikap tersebut, pemimpin kelompok ini, abu al-khaththab, mengangkat dirinya sebagai imam.
Golongan al-ghurabiyah percaya malaikat jibril diutus allah untuk ali bin ali thalib ra. Namun, mereka menilai malaikat jibril keliru dan berkhianat sehingga menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad. Sementara Syiah Qaramithah dikenal sangat ekstrem karena menyatakan Syyidina Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan. Kelompok ini pernah berkuasa di Bahrain dan Yaman, serta menguasai Mekah pada 930 Masehi.
b. Syiah Ismailiyah
Kelompok ini tersebar di banyak negara, seperti Afganistan, India, Pakistan, Suriah, Yaman, serta beberapa negara barat, yakni Inggris dan Amerika Utara. Kelompok ini meyakini Ismail, putra Imam Ja’far Ash-Shadiq, adalah imam yang menggantikan ayahnya, yang merupakan imam keenam dari aliran Syiah secara umum. Ismail dikabarkan wafat lima tahun sebelum ayahnya (Imam Ja’far) meninggal dunia. Namun menurut kelompok ini, Ismail belum wafat. Syiah Ismailiyah meyakini kelak Ismail akan tampil kembali di bumi sebagai Imam Mahdi.
c. Syiah az – zaidiyah
Ini adalah kelompok Syiah pengikut Zaid bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib r.a. Zaid lahir pada 80 H dan terbunuh pada 122 H. Zaid dikenal sebagai tokoh yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan semena-mena yang diterapkan Yazid, putra Muawiyah pada zaman Bani Umayyah. Kendati golongan ini yakin kedudukan Ali bin Abi Thalib ra lebih mulia ketimbang Abu Bakar, Umar, dan Utsman, mereka tetap mengakui ketiganya sebagai khalifah yang sah. Lantaran masih menganggap tiga sahabat nabi yang lain, Syiah Az-Zaidiyah dinamakan Ar-Rafidhah, yakni penolak untuk menyalahkan dan mencaci.
Dalam menetapkan hukum, kelompok ini menggunakan Al-Quran, sunah, dan nalar. Mereka tidak membatasi penerimaan hadis dari keluarga Nabi semata, tetapi mengandalkan juga riwayat dari sahabat-sahabat Nabi lainnya.
d. Syiah Istna Asyariah
Kelompok ini dikenal juga dengan nama Imamiyah atau Ja’fariyah yang percaya 12 imam dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah SAW. Syiah Istna Asyariah merupakan mayoritas penduduk Iran, Irak, dan ditemukan juga di beberapa daerah di Suriah, Kuwait, Bahrain, India, Saudi Arabia, dan beberapa daerah bekas Uni Sovyet. Ini adalah kelompok Syiah mayoritas.
Aliran Mu’tazilah dan Syi’ah merupakan dua aliran pemikiran dalam Islam yang memiliki sejarah panjang dan kompleks. Meskipun keduanya memiliki beberapa kesamaan, terdapat pula perbedaan fundamental dalam ajaran pokok mereka.
Ajaran Pokok Mu’tazilah:
Tauhid: Mu’tazilah meyakini bahwa Allah SWT adalah satu-satunya entitas yang benar-benar ada (wajib al-wujud) dan tidak memiliki sifat-sifat fisik (tanzih).
Adl: Allah SWT adalah adil dan tidak pernah menzalimi manusia. Manusia memiliki kehendak bebas dan bertanggung jawab atas perbuatannya.
Manzilah Bain al-Manzilatain: Terdapat tiga kategori manusia: mukmin (beriman), kafir (tidak beriman), dan yang berada di antara keduanya (manzilah bain al-manzilatain).
Wa’d wa Wa’id: Allah SWT telah berjanji untuk memberi pahala bagi orang yang beriman dan menghukum orang yang kafir.
Amr bi al-Ma’ruf wa Nahy an al-Munkar: Umat Islam wajib memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran.
Ajaran Pokok Syi’ah:
Imamah: Kepemimpinan umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW harus dipegang oleh para Imam yang berasal dari keturunan Nabi Muhammad SAW dan Ali bin Abi Talib.
Keadilan: Keadilan Allah SWT diwujudkan melalui Imamah.
Taqiyyah: Dalam situasi tertentu, Syi’ah dibolehkan menyembunyikan keyakinan mereka untuk menghindari bahaya.
Raj’ah: Para Imam dan orang-orang beriman akan kembali ke dunia untuk menegakkan keadilan.
Ziarah: Mengunjungi makam para Imam dan orang-orang suci merupakan amalan yang penting.
Perbandingan:
Aspek
Mu’tazilah
Syi’ah
Ketuhanan
Tauhid, tanzih
Tauhid, imamah
Keadilan
Adl
Keadilan melalui imamah
Manusia
Kehendak bebas, tanggung jawab
Taqiyyah
Akhirat
Wa’d wa wa’id
Raj’ah
Amalan
Amr bi al-ma’ruf wa nahy an al-munkar
Ziarah
Mungkin ini yang bisa kita bahas di artikel kali ini, lihat artikel menarik lainnya juga.
See you..
“Terimakasih.”