Sinar5News.Com – Jakarta – Nabi Muhammad SAW adalah sempurna bagi umatnya, baik pada zaman kerasulannya maupun zaman setelah kerasulannya berakhir. Sudah sepantasnya dihadapan kita semua Nabi Muhammad SAW adalah sosik figure yang ma’shum (terjaga dari perbuatan dosa sebelum dan sesudah diutus) karena beliau seorang nabi, nabi terakhir yang diutus kepada semua umat manusia dilapisan dunia ini. Beliau juga sosok yang rajin dan taat dalam beribadah. Beliau juga tak terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya, lingkungan orang-orang jahiliyah yang suka minuman keras dan main perempuan. Terkait dengan kerasulan Nabi Muhammad yang merupakan Nabi penutup dimana terdapat Nabi-nabi sebelumnya yang juga membawa risalah Allah Subhanahu wata’ala ada sebuah pertanyaan kecil di benak kita, terkait dengan peribadatan Beliau.
Benarkah beliau mengikuti syariat Nabi sebelumnya, sebelum ia diutus? Kalau benar, syariat Nabi siapa yang diikuti oleh Beliau? Terkait dengan pertanyaan tersebut ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa beliau sebelum diutus mngikuti syariat Nabi sebelumnya. Namun untuk lebih memperjelas tentang syariat yang dibawa oleh nabi-nabi terdahulu atau yang kita kenal dengan istilah Syar’u Man Qablana ini akan dibahas lebih lanjut.
1. Pembagian Syar’u Man Qablana beserta contohnya
a. Ajaran yang telah dihapuskan oleh syariat Rasulullah (di mansyukh)
Menurut Syariat Nabi Musa Alaihissalam seseorang yang telah betbuat dosa apabila ingin bertobat harus membunuh dirinya. Pakaian yang terkena najis tidak dapat menjadi suci, kecuali dipotong bagian yang terkena najis itu. Mengenai masalah itu, para ulama sepakat tidak mengamalkannya karena syariat kita telah mengaturnya.
b. Ajaran yang telah ditetapkan oleh Rasulullah
Contohnya perintah menialankan puasa dimana para ulama berpendapat bahwa kita wajib mengamalkan katvna syariat telah mengaturnya sesuai al-quran dan sunnah diantara dalam firman Allah Subhanahu wata’ala :
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa, selMgaiman diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa. (surat al-baqarah ayat 183)
Ajaran yang ditetapkan oleh syariat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam Ajaran ini dibagi menjadi 2 macam, yaitu sebagai berikut :
a. Ajaran yang diberitakan kepada kita, baik nrlalui al-quran atau sunnah, tetapi tidak tegas diwaJibkan sebagai mana diwajibkan kepada ummat sebelum kita, Contohnya, Firman Allah Subhanahu wata’ala yang artinya, “Dan telah kami tetapkan didalamnya (At-Taitas urat) bahwasannya jika dibalas ji’,va, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishasnya. ‘QS Al-Maidah ayat 45.
Mayoritas ulama hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi ‘iyyah bemendapat bahwa Syari’at yang ditetapkan untuk Bani Israil juga berlaku bagi ummat Islam karena tidak ada dalil yang menasakh (menghapus), Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa Syari’at sebelum kita tidak berlaku karena sifat Syari’at kita menghapus Syari’at-syari’at sebelumnya. Syari’at bani Israil hanya untuk mereka, sedangkan Syari’at ummat Islam untuk seluruh ummat manusia.
b. Ajaran yang tidak disebut-sebut (diceritakan) Oleh Syari’at Rosululloh SAW
Para Ulama berpendapat bahwa ummat Islam tidak wajib mengamalkan Syari’at sebelum kita dan yang tidak disebut-sebut oleh Syari’at kita.
2. Kedudukan Syar’u Man Qablana
Pada prinsipnya, syariat yang diperuntukan Allah Subhanahu wata’ala bagi umat terdahulu mempunyai azas yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam. Hal ini terlihat dalam firman Allah Surat Asy-Syura ayat 13 :
Artinya:
“Dia (Allah SWT) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkannya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam) dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah-pecah belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang dikeheendaki kepada agama tauhid dan memberikan petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepadaNya).”
Diantara azaz yang baru itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.
Oleh karena itu terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat yang sebelum kita (umat Islam) dengan datangnya syariat Islamiyah dan sebagian lagi hukum-hukum umat yang terdahulu tetap berlaku, seperti qisas.
3. Qaul Shahaby
Ketika Rasulullah saw. masih hidup, seluruh persoalan hukum yang muncul atau timbul dalam masyarakat langsung ditanyakan para sahabat kepada Rasul dan Rasulullah memberikan jawaban dan penyelesainnya. Namun setelah Rasulullah saw. meninggal dunia, maka para sahabat yang tergolong ahli dalam mengistinbatkan hukum, telah berusaha dengn sungguh-sungguh untuk memecahkan persoalan tersebut, sehingga kaum muslimin dapat beramal sesuai denganm fatwa-fatwa sahabat itu.
Selanjutnya fatwa-fatwa sahabat ini diriwayatkan oleh tabi’in, tabi’it-tabi’in dan orang-orang yang sesudahnya seperti para perawi hadis.
Pendapat ulama mengenai qaul sahabi dapat dijelaskan bahwa ada 2 (dua) macam pendapat sahabat yang dapat dijadikan hujjah, yaitu :
a. Pendapat sahabat yang diduga keras bahwa pendapat tersebut sebenarnya berasal dari Rasulullah saw., karena pikiran tidak atau belum dapat menjangkaunya, seperti ucapan Aisyah ra
Artinya : “kandungan itu tidak akan lebih dari dua tahun dalam perut ibu, yaitu tidak akan lebih dari sepanjang bayang-bayang benda yang ditancapkannya’. (HR. Daruquthni).
Keterangan Aisyah ra. bahwa maksimal waktu menandung itu dua tahun, tidak lebih sedikitpun, bukan semata-mata hasil ijtihad Aisyah sendiri, melainkan bersumber dari Rasulullah saw., meskipun secara kasat mata itu adalah perkataan dan pendapat Aisyah.
b. Pendapat sahabat yang tidak ada sahabat lain yang menentangnya seperti pendapat tentang bahwa nenek mendapat seperenam (1/6) harta waris, yang dikemukakan oleh Abu Bakar dan tidak ada sahabat lain yang tidak sependapat dengannya.
Pendapat yang tidak disetujui oleh sahabat yang lain tidak dapat dijadikan hujjah, pendapat ini dianut oleh golongan Hanafiah, Malikiyah, Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah dan didahulukan dari qiyas. Bahkan Ahmad bin Hanbal mendahulukan qaul sahabi dari hadis mursal dan hadis dha’if. Al-Syaukani menganggap pendapat sahabat itu seperti pendapat para mujtahid yang lain, tidak wajib umat Islam mengikutinya