Disampaikan kepada
KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL.
Ketua Dewan Pakar Ormas Nasional Demokrat dan Direktur Eksekutif ND Institute Lalu Sudarmadi
SUMBER Daya Manusia (SDM) menjadi salah satu fokus pembangunan dalam perioda pemerintahan 2019-2024. Arahan Presiden terpilih cukup terkait kebijakan pembangunan SDM komprehensif mulai dari menjamin kesehatan ibu hamil, kesehatan bayi, kesehatan balita, kesehatan anak usia sekolah, penurunan stunting, penurunan angka kematian ibu, penurunan angka kematian bayi, peningkatan kualitas pendidikan, vokasi, membangun manajemen talenta Indonesia, dukungan bagi diaspora bertalenta tinggi, dan infrastruktur dasar untuk kesehatan dan produktivitas.
Pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan usulan terkait beberapa aspek saja dari demikian banyak yang tercakup dalam arahan yang komprehensif di atas: (1) kesehatan dan pendidikan anak usia dini (0-5 tahun); (2) pendidikan dan pelatihan kejuruan dan vokasi; dan (3) perlunya membangun pendidikan tinggi secara lebih fokus.
Baca juga: Pemulihan Papua Pemulihan Indonesia
Usulan yang terbatas dan berfokus pada tiga aspek dalam pengembangan SDM tersebut tidak mengandung maksud mengabaikan aspek-aspek lainnya yang juga sangat penting, tetapi hanya persoalan prioritas. Di bidang pendidikan, misalnya, tentu pekerjaan rumah kita masih banyak; kita memang sudah cukup berhasil meningkatkan akses pendidikan di semua jenjang dan jalur. Program wajib belajar sembilan tahun praktis sudah berhasil membawa anak-anak usia pendidikan dasar ke sekolah. Tetapi, sebagaimana kita semua sadari, kualitas pendidikan masih merupakan permasalahan yang harus kita selesaikan.
1. Menyiapkan Fondasi SDM Yang Kuat: Kesehatan dan Pendidikan Anak Usia Dini (0-5 tahun)
Pembangunan SDM harus dimulai dari hulu, bahkan sejak sebelum lahir dan berada dalam kandungan. Ketika anak lahir, usia 24 bulan pertama sangat menentukan dalam pembentukan jaringan otak; tidak banyak yang bisa dilakukan sebagai remedy bagi kekurangan yang terjadi dalam 24 bulan pertama usia anak. Oleh sebah itu masa pertumbuhan sejak usia nol tahun perlu mendapatkan perhatian serius, baik layanan kesehatannya maupun layanan pendidikannya. Dalam bagian ini kami akan berfokus pada kesehatan dan pendidikan usia dini 0-5 tahun.
Dalam Rancangan Teknokratik Rencana Pembangungan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 versi 14 Agustus 2019, Bab IV yang berjudul Meningkatkan Sumber Daya Manusia Berkualitas dan Berdaya Saing, dalam bagian Lingkungan dan Isu Strategis (Halaman 94-99), sayang sekali tidak kami temukan artikulasi yang memadai permasalahan atau isu terkait layanan kesehatan dan pendidikan usia 0-5 tahun.
Di halaman-95 hanya kami temukan pernyataan singkat bahwa angka partisipasi pendidikan anak usia dini (PAUD) masih sangat rendah. Di halaman-98 yang mambahas permasalahan peningkatan kualitas anak, perempuan, dan pemuda juga tidak dijumpai artikulasi permasalahan kesehatan dan pendidikan anak usia 0-5 tahun yang memadai. Untuk itu, kami sarankan kiranya dapat dilengkapi dengan artikulasi permasalahan yang lengkap sehingga arah kebijakan yang dibangun memiliki pijakan yang jelas dan kuat.
Di bagian Arah Kebijakan (Halaman: 109-110) dapat ditemukan tentang Kesehatan Ibu dan Anak yang mengulas mengenai kebijakan untuk meningkatkan layanan maternal dan neonatal berkesinambungan, perluasan dan pengembangan imunisasi dasar, peningkatan gizi remaja putri, perluasan akses dan peningkatan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi. Di samping itu, kebijakan percepatan perbaikan gizi untuk mencegah permasalahan gizi ganda, yang mencakup penurunan stunting, peningkatan jaminan asupan gizi makro dan mikro terutaman bagi ibu hamil dan anak usia di bawah dua tahun.
Sebelum menyampaikan beberapa masukan, kami ingin terlebih dahulu, statistik terkait. Tabel di atas kami kutip dari Draf Teknokratik RPJMN versi 14 Agustus 2019 (Halaman-103). Meski mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir, tetapi angka kematian ibu melahirkan masih cukup tinggi, dan menurunkannya dari 305 kematian ibu melahirkan per 100 ribu kelahiran hidup menjadi 183 kematian ibu per 100 ribu kelahiran hidup (sasaran 2024) bukanlah perkara mudah. Demikian juga menurunkan angka kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup dari 24 menjadi 16 dan prevalensi stunting yang tergolong masih tinggi. Masalah yang kita hadapi sekarang boleh dikatakan sudah berada di hardcore permasalahannya, melibatkan penduduk/ keluarga yang tidak mudah lagi dijangkau baik secara geografis maupun secara sosiokultural. Karena itu kita tidak lagi bisa menggunakan pendekatan pembangunan yang biasa-biasa saja.
Merujuk pada dimensi permasalahan sebagaimana diuraikan singkat di atas, kami mengusulkan untuk memperkuat implementasi program-program terkait dengan anak usia 0-5 tahun, sebagai berikut. Pertama-tama, lingkup pekerjaan untuk menangani pengembangan SDM di bagian hulu, khususnya anak-anak usia 0-2 tahun dan 2-5 tahun akan sangat sulit dikerjakan oleh pemerintah sendirian. Karena itu, kami mengusulkan untuk dibangun sebuah gerakan masyarakat bagi pembinaan anak-anak balita, dengan pendekatan keluarga dan kekeluargaan. Gerakan masyarakat untuk memastikan anak-anak tumbuh berkembang sehat dan cerdas berfokus pada keluarga yang merupakan ‘produsen’ kesehatan dalam paradigma berpikir (kementerian) public health. Berbagai infrastruktur dan kelembagaan di tingkat desa seperti Posyandu dan PAUD.
Pendekatan ‘gerakan’ ini memiliki beberapa keunggulan. Pertama, karena melibatkan seluruh anggota masyarakat, maka probabilitas keberlanjutan (sustainability) jauh lebih besar. Gerakan, dapat sekaligus digunakan untuk menghidupkan kembali sifat gotong royong yang belakangan makin menipis dalam masyarakat kita.
Untuk memfasilitasi gerakan ini dibutuhkan kader penggerak di tingkat desa dengan mengalokasikan anggaran pendukung operasionalnya dari dana desa.
Dengan begitu, anggaran dana desa perlu ditambah untuk mengakomodasikan dukungan yang diperlukan untuk pembangunan sumber daya manusia di hulu yang sangat krusial ini. Kader penggerak di tingkat desa ini dapat merangkap tugas untuk memfasilitasi agenda-agenda pembangunan sosial lainnya termasuk membina Program Keluarga Harapan (PKH); tidak perlu kader penggerak yang berbeda untuk program yang berbeda. Kader penggerak merupakan milik desa, dan pembinaannya dapat dilakukan oleh berbagai kementerian yang berkepentingan untuk mendapatkan fasilitasi program-programnya di tingkat desa seperti Kemensos, Kemendes, BKKBN, dan lainnya.
2. Menyiapkan Generasi Muda Siap Kerja: Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan dan Vokasi
Dalam Bab IV: Meningkatkan Sumber Daya Manusia Berkualitas dan Berdaya Saing, dalam bagian Lingkungan dan Isu Strategis (Halaman 92-101) kami tidak menemukan paparan yang memadai mengenai permasalahan terkait pendidikan dan pelatihan kejuruan dan vokasi. Uraian tentang pentingnya peningkatan produktivitas dan daya saing (Halaman 100-101), hanya sebatas menyinggung rendahnya proporsi tenaga kerja berpendidikan menengah dan tinggi yang lebih rendah dibanding rata-rata Asean, mismatch, dan langsung melompat pada permasalahan pengembangan program studi yang dikembangkan di jenjang pendidikan tinggi yang belum sepenuhnya menjawab potensi dan kebutuhan pasar.
Beruntung, di bagian Arah Kebijakan, Angka 7.1 (Halaman 115-116) disajikan cukup rinci arah kebijakan terkait dengan Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan dan Vokasi (TVET). Bagian ini sangat kami hargai. Demi memperkuat pemahaman kita semua, dan mudah-mudahan dapat menyumbang pada upaya mempertajam lebih lanjut agenda pengembangan dan implementasi TVET, berikut kami sajian uraian singkat.
Permasalahan terkait Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan dan Vokasi (TVET) sangat nyata, sebagaimana ditunjukkan oleh angka pengangguran paling tinggi yang diderita oleh para lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) kita, sebagaimana ditunjukkan dalam tabel berikut. Sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel berikut, angka pengangguran lulusan SMK merupakan yang tertinggi dibanding jalur dan jenjang pendidikan lainnya. Hal ini sungguh memprihatinkan mengingat SMK dimaksudkan untuk membekali lulusannya dengan keterampilan sehingga lebih mudah diserap oleh dunia usaha dan dunia industri (DUDI).
Hal ini telah mendapatkan perhatian serius dari Presiden, sebagaimana ditandai dengan terbitnya Inpres 9/2016 tentang Revitalisasi SMK. Langkah untuk melakukan revitalisasi SMK yang baik ini memerlukan tindak-lanjut yang lebih komprehensif: (a) penataan kembali portofolio TVET Nasional; (b) kebijakan fiskal pendukung termasuk sistem pendanaan TVET dan insentif fiskal bagi dunia usaha dan dunia industri untuk meningkatkan perannya dalam penyelenggaraan TVET.
Di samping itu, yang sangat penting dan krusial dalam upaya memperbaiki kinerja SMK kita adalah kerjasama dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI) mulai sejak perencanaan, desain kurikulum, hingga kerja praktik dan pemagangan yang harus merupakan bagian integral dari sebuah proses pembelajaran dan mengasah keterampilan para siswa.
Penataan kembali portofolio TVET Nasional akan meliputi rasionalisasi SMK agar selaras dengan kebutuhan tenaga kerja. Secara makro, TVET dan SMK pada khususnya, perlu dibuka untuk bersifat asimetri atau beragam secara nasional. Kebutuhan tingkat spesialisasi SMK untuk mendukung pengembangan sektor manufaktur berbeda dari tingkat spesialisasi SMK untuk mendukung sektor pertanian dan sektor jasa. Bahkan dalam sektor manufaktur pun perlu dimungkinkan SMK dilaksanakan secara beragam, mengingat ragam sektor manufaktur itu sendiri.
Untuk manufaktur otomotif dan elektronika, misalnya, di mana industrinya didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar, dengan pembagian tugas karyawan yang sudah sangat terstruktur dan terspesialisasi, maka desain program studi dan penyelenggaraan kompetensi yang sangat spesifik merupakan sebuah keharusan.
Adapun untuk manufaktur garmen yang ukuran perusahaannya beragam, program studi yang dibutuhkan perlu lebih beragam dan sedikit lebih umum (broad-based).
Ilustrasi lebih jelas dapat dibuat untuk SMK di bidang jasa konstruksi (bangunan gedung). Industri jasa konstruksi di Indonesia terdiri dari sejumlah perusahaan-perusahaan kontraktor berskala besar baik swasta murni maupun BUMN. Secara nasional mungkin jumlahnya tidak sampai 100 perusahaan, memiliki peralatan dengan teknologi cukup tinggi, dengan penyerapan tenaga kerja yang relatif tidak terlalu besar secara nasional. Di sisi lain, terdapat puluhan ribu perusahaan konstruksi/pemborong berskala kecil baik formal maupun informal, seperti kontraktor-kontraktor yang mengerjakan pembangunan kompleks perumahan dalam skala/jumlah yang kecil, kontraktor renovasi rumah tinggal, dan pemborong proyek-proyek pembangunan jalan, jembatan, dan prasarana fisik lainnya di tingkat kabupaten kota.
Perusahaan-perusahaan kontraktor kecil jumlahnya sangat besar, kurang intensif teknologi, sehingga menyerap banyak sekali tenaga kerja secara agregat, meski daya tampung per perusahaan tidak besar. Di perusahaan-perusahaan ini lulusan SMK yang diterima sebagai karyawan belum dituntut highly skilled, melainkan diharapkan bisa mengerjakan banyak hal. Sementara di SMK mereka sudah sangat terspesialisasi, di perusahaan mereka diharapkan mengerti dan bisa mengerjakan dan membaca gambar, sekaligus memasang batu bata, mengerjakan pembuatan kusen, dll.
Perkembangan untuk menjadi spesialis akan berjalan seiring perjalanan karir. Untuk perusahaan-perusahaan seperti ini, yang jumlahnya sangat banyak dan dominan, desain program studi yang ada di SMK sekarang, yang sama dan merata aturannya untuk semua SMK, kurang tepat. Untuk membuatnya lebih cocok dengan permintaan pasar kerja, program studi perlu direstrukturisasi dan dibuka kemungkinan untuk menjadi beragam antar daerah dan bahkan antar sekolah.
Terlepas dari perlunya desain ulang program studi secara nasional untuk menyesuaikan dengan permintaan pasar, permasalahan guru SMK terutama guru-guru dan instruktur-instruktur yang mengajarkan/melatih keterampilan perlu ditata ulang pengelolaannya.
Saat ini, berdasarkan UU 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, persyaratan kualifikasi pendidikan formal harus berijazah S-1/S-2 dan sebagainya, menjadi penghambat kerja sama yang lebih efektif antara SMK dan DUDI. Ketentuan persyaratan administratif yang kaku membuat tenaga-tenaga terampil yang sangat diharapkan memperkuat SMK terhambat karena tidak memenuhi persyaratan ijazah dan jenjang minimal pendidikan formal. Padahal mereka memiliki kecakapan dan keterampilan praktis yang unggul dan layak mengajar.
Permasalahan guru di SMK, di satu sisi kita mengalami kekurangan dalam jumlah dan kualitas yang luar biasa besar, sekitar 200 ribu guru keterampilan untuk SMK secara nasional, di sisi lain kita sulit memanfaatkan tenaga terampil perusahaan akibat peraturan perundang-undangan yang menghambat, dan sekaligus melakukan pengaturan yang kurang pas dengan sifat pendidikan dan pelatihan kejuruan dan vokasi.
3. Menyiapkan Mesin Ekonomi Berbasis IPTEK: Membangun Pendidikan Tinggi Yang Fokus dan Berkualitas
Urgensi peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan tinggi kita sudah sangat mengedepan. Pemikiran untuk mengakomodasikan dosen, guru besar, dan bahkan pimpinan perguruan tinggi berkebangsaan asing juga berakar dari kesadaran untuk mempercepat perbaikan kualitas. Namun, terdapat permasalahan serius dalam pengelolaan pendidikan tinggi kita yang belum mendapatkan perhatian, yaitu pendidikan tinggi kita kurang fokus, ke mana-mana, ingin mengerjakan semuanya, dan berakhir menjadi kurang bermakna.
Kami sangat menghargai identifikasi yang cukup tajam dalam Bab IV: Meningkatkan Sumber Daya Manusia Berkualitas dan Berdaya Saing, dalam bagian Lingkungan dan Isu Strategis (Halaman 92-101), khususnya sub-bagian Pemenuhan Layanan Dasar (Halaman: 94-97) tentang mutu dan kesenjangan mutu antarsatuan pendidikan tinggi.
Demikian pula, identifikasi permasalahan yang merujuk pada pengembangan pendidikan tinggi yang kurang fokus dan pentingnya langkah untuk segera melakukan diferensiasi misi perguruan tinggi sangat kami hargai. Merujuk pada praktik pengembangan pendidikan tinggi di negara-negara maju, kita juga perlu segera untuk memfokuskan pengembangan individu perguruan tinggi sesuai misi yang diembannya secara bervariasi. Perlunya membagi perguruan tinggi kita yang melebihi 4.000 perguruan tinggi secara keseluruhan ke dalam tiga misi yang berbeda: perguruan tinggi riset, perguruan tinggi ilmu-ilmu terapan, dan perguruan tinggi vokasi sangat tepat.
Demikian pula, dalam bagian Arah Kebijakan, kami gembira menemukan elaborasi lebih lanjut di Angka 7.2 (Halaman: 116-117). Dengan maksud menambahkan perspektif, khususnya terkait perlunya diferensiasi misi perguruan tinggi dan menempatkannya dalam konteks memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi nasional kita, berikut kami sajikan uraian singkat. Semoga uraian singkat berikut dapat menyumbang pada upaya mempertajam lebih lanjut arah kebijakan terkait pembangunan pendidikan tinggi kita.
Kami ingin mengawali uraian singkat ini dengan menyajikan gambaran arsitektur pendidikan tinggi nasional kita yang terdiri lebih dari 4.000 perguruan tinggi, negeri-swasta, besar-kecil sebagaimana dalam tabel di atas. Dalam tabel di atas yang bersumber dari data tahun lalu, terdapat 4.275 perguruan tinggi dalam berbagai jenis. Selanjutnya mari kita lihat tabel yang kami kutip dari Draf Teknokratik (Halaman 105), berikut ini.
Persentase lulusan perguruan tinggi kita yang langsung bekerja baru mencapai 63%, menunjukkan tingkat keterserapan yang masih perlu ditingkatkan. Demikian pula, jumlah perguruan tinggi nasional yang masuk jajaran kelas dunia masih sangat sedikit, jauh tertinggal dari perguruan tinggi di negara-negara tetangga terdekat kita di ASEAN.
Sasaran yang direncanakan untuk 2024, menaikkan persentase lulusan yang langsung bekerja menjadi 80% rasanya masih perlu dipikirkan lagi. Demikian juga sasaran yang ingin dicapai untuk menempatkan perguruan tinggi nasional kita ke dalam jajaran kelas dunia yang hanya enam perguruan tinggi rasanya masih perlu dipikirkan kembali kalau kita memang serius ingin menjadi negara dengan sumber daya manusia yang kompetitif.
Tentu kami mengapresiasi tingkat kesulitan yang dihadapi untuk menaikkan tingkat keterserapan lulusan dan peringkat di antara perguruan tinggi kelas dunia. Kami berpendapat sasaran-sasaran tersebut akan sangat sulit kalau kita akan mengerjakan tugas kita dengan pendekatan seperti yang selama ini. Lebih dari 4.000 perguruan tinggi kita, negeri dan swasta, besar dan kecil, tetapi tidak melakukan pembagian tugas yang jelas. Akhirnya karena potensi masing-masing yang sangat bervariasi tetapi semua mengerjakan yang sama, sulit menjadikan perguruan tinggi kita unggul dan bereputasi internasional. Strategi penting dan mendesak untuk meningkatkan perguruan tinggi kita adalah dengan melakukan diversifikasi misi alias mission differentiation/diversification.
Sebagaimana kita ketahui bersama, perguruan tinggi kita menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi, sebuah prinsip yang dikembangkan dalam dekade 1950an, saat perguruan tinggi kita secara nasional masih sangat sedikit, kurang dari 20 perguruan tinggi seluruh Indonesia. Dengan jumlah lembaga pendidikan tinggi yang baru sedikit, maka sangat mudah dimengerti ketika kesemuanya diwajibkan menjalankan ketiga dharma: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Tridharma merupakan prinsip penyelenggaraan pendidikan tinggi yang mulia dan harus dipertahankan. Tetapi dengan berubahnya lingkungan strategis yang kita hadapi, tentu harus diperbaharui untuk menyesuaikan dengan konteks masa kini.
Dengan jumlah perguruan tinggi yang lebih dari 4.000 lembaga, bukan lagi kurang dari 20 lembaga sebagaimana 60 tahun lalu, sudah pada tempatnya pelaksanaan Tridharma kita angkat dari level individu perguruan tinggi ke level sistem pendidikan tinggi. Secara konkret, lebih dari 4.000 perguruan tinggi perlu berbagi tugas ke dalam tiga kategori: (a) Perguruan Tinggi Riset (Research University); (b) Perguruan Tinggi Ilmu Terapan (Teaching University); dan (c) Perguruan Tinggi Vokasi.
Perguruan Tinggi Riset tidak perlu banyak jumlahnya, dan tugas untuk menjadi perguruan tinggi seperti ini dapat diberikan kepada sejumlah kecil perguruan tinggi yang telah memiliki sarana, prasarana, dan sumber daya manusia yang memadai untuk itu. Percuma juga membelanjakan dana riset secara nasional Rp26 triliun, dan sebagian cukup besar dibagi ke semua perguruan tinggi, dan riset yang dihasilkan tidak menggerakkan ekonomi dan produktivitas kita. Dana Rp26 triliun sangat besar, tetapi kalau dibagi ke terlalu banyak sasaran, akan menjadi terlalu kecil untuk bisa efektif. Karena itu kita fokuskan saja untuk mereka yang berani menjanjikan riset ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan efektif mendorong produktivitas dan perekonomian serta kehidupan sosial budaya yang bermakna. Perguruan tinggi riset ini merupakan sebagian kecil saja dari 4.000 perguruan tinggi dan harus menjalankan Tridharma secara utuh: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Dengan jumlah Perguruan Tinggi Riset yang terlalu banyak, agenda riset yang terfokus dengan pendanaan yang memadai, prospek untuk mendorong agar riset-riset yang dilakukan tidak berhenti di publikasi, akan lebih baik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa penelitian terindeks Scopus dan semacamnya mayoritas tidak lebih dari sekadar upaya untuk menunaikan kewajiban dharma penelitian di antara para dosen dan guru besar demi kenaikan pangkat dan jabatan akademik.
Ketika kita ingin serius menjadikan pendidikan tinggi dan penelitian kita menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dengan inovasi-inovasinya yang mewujud dalam kegiatan produksi barang dan jasa, kita harus mendorong riset kita jauh melebihi motif publikasi. Dengan diversifikasi misi, mungkin publikasi hasil penelitian kita tidak akan sebanyak yang sekarang, tetapi harapan untuk melakukan penelitian yang efektif dan mendukung pengembangan inovasi yang bermanfaat bagi perekonomian nasional lebih mungkin diharapkan.
Sebagian besar perguruan tinggi difokuskan saja pada tugas pendidikan ilmu terapan maupun vokasi, dan pengabdian kepada masyarakat untuk melengkapinya untuk menjadikan lulusannya menjadi pribadi yang lengkap. Ribuan perguruan tinggi kita perlu direorientasi agar fokus ke dalam pendidikan, mengajarkan, ilmu-ilmu terapan untuk membekali lulusan dengan pengetahuan dan keterampilan vokasi. Mereka ini dibagi lebih lanjut ke dalam perguruan tinggi ilmu terapan dan perguruan tinggi vokasi. Stragegi ini akan memungkinkan sekaligus kita meningkatkan proporsi pendidikan tinggi vokasi di Indonesia yang masih terlalu sedikit secara perbandingan internasional.
Dengan diferensiasi misi seperti ini, setiap perguruan tinggi akan fokus dengan misinya masing-masing, dan alokasi sumber daya baik sumber daya manusia maupun sumber daya finansial akan lebih memungkinkan berjalan secara optimal, dan mempercepat peningkatan kualitas pendidikan tinggi kita. Sekali lagi, kuncinya kita akan lebih mudah memperbaiki kualitas kalau kita lebih fokus.
Perubahan-perubahan yang diusulkan akan memiliki implikasi kelembagaan yang signifikan, termasuk peraturan perundang-undangan, tetapi semuanya terukur, dan bisa dilaksanakan. Pekerjaan akan tidak mudah, tetapi feasible dan akan dapat dilaksanakan, dan harus dimulai dengan segera.