Masalah Kependudukan , Kemiskinan , Stunting Dan Perlunya Transformasi Kelembagaan.

Masalah Kependudukan , Kemiskinan , Stunting Dan Perlunya Transformasi Kelembagaan.

Transformasi Kelembagaan tidak saja berarti mengubah dan atau mengganti struktur, personalia, down sizing, right sizing, tetapi bisa juga menambah dan atau menyesuaikan tugas fungsi serta tata hubungan kerja internal serta external suatu kelembagaan.

Kelemahan yang sering terjadi adalah presiden atau pemerintahan baru mengalami kesulitan, kendala serta hambatan dalam melaksanakan visi missi serta janji janji kampanye serta dalam upaya memecahkan dengan cepat berbagai issues yang dihadapi.
Pemerintahan baru mengalami keterlambatan untuk bekerja untuk mengeksekusi berbagai program strategiknya.

Hal itu tidak lain oleh karena keterlambatan dalam melakukan transformasi kelembagaan yang memungkinkan program strategik dan issues yg harus dipecahkan bisa match dengan kelembagaan yang diberikan kewenangan melaksanakannya.

Berbagai issues strategik yang akan dihadapi yang memerlukan transformasi kelembagaan adalah masalah pengelolaan
Pengentasan Kemiskinan dan Stunting.

Masalah kemiskinan memang selalu menjadi sexy dan dijadikan jargon politik disetiap pemilu.

Sudah saatnya kemiskinan sebagai bahagian dari pembangunan kependudukan- population and social development yang pada ujungnya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, harus menjadi “main streaming policy” pembangunan nasional.

Dalam beberapa dekade terakhir, data data menunjukkan bahwa kemiskinan ini seolah jalan ditempat, jumlah penduduk miskin selalu berkisar diangka 25-35 juta. Pada th 2022 jumlah penduduk miskin berjumlah 26 juta, dan bervariasi dari satu daerah dengan daerah lain. Dan kalau di analisis lebih jauh maka kemampuan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan sekitar 600 ribu sd 1 juta per tahun. Artinya membutuhkan waktu yang panjang untuk bisa mengentaskan penduduk miskin.

Masalah yang lain adalah ukuran yang dipakai sebagai kriteria penduduk miskin Indonesia memakai kriteria yang tidak manusiawi. Mestinya ukuran yang digunakan harus yang kompatible yang dipakai oleh negara negara didunia yaitu pengeluaran per kapita perhari. Mengacu kepada World Bank mestinya Indonesia sudah memakai ukuran pengeluaran perkapita perhari $2. Yang dipakai saat ini adalah sekitar 500 ribu rupiah atau $0.3.

Kalau ukuran $ 1 ini dipakai maka jumlah penduduk miskin akan mencapai 90 jutaan, apalagi kalau $2, maka angkanya membengkak menjadi diatas 120 juta.
Ukuran yang digunakan, terkadang “dibuat” yang menguntungkan penguasa.

Kedepan mestinya ukuran yang kita pakai, ukuran yang jelas sehingga kita tahu berapa jumlah penduduk miskin yang harus kita entaskan. Tidak perlu takut jumlahnya besar, karena itulah inti dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Yang terjadi dan sudah pasti dalam upaya pengentasan kemiskinan ini adalah jumlah institusi yang menangani bertambah besar jumlahnya dan jumlah anggarannya juga bertambah besar. Namun hasilnya seperti dijelaskan diatas, seolah jalan ditempat dan berada dalam “paradox of plenty dan paradox of popularity”. Masyarakat miskin hidup sengsara ditengan negara yang kaya raya dan masyarakat miskin tetap miskin walaupun issue kemiskinan itu sangat populer dan menjadi issue dan jargon politik setiap pemilu.

Pada akhir pemerintahan ini, tidak akan mencapai targetnya dalam mengentaskan kemiskinan dan juga penurunan stunting yang merupakan bagian dari akibat dan dampak kemiskinan. Walaupun pemerintah mensiasati dengan istilah kemiskinan extreem dengan kriteria seharga “sesisir pisang”, yg jumlahnya berkisar 15 juta penduduk miskin mungkin tidak bisa tercapai, demikian juga penurunan stunting dari 24% menjadi 14%, dengan
sisa waktu efektif yang ada di tahun 2024 ini, dapat diprediksi target itu tidak bisa dicapai.

Kedepan, kemiskinan dan masalah stunting harus ditangani dengan cara “out of the box”, bukan “business as usual” . Kemiskinan harus dijadikan sebagai super prioritas pembangunan, menjadi “main streaming policy” dan untuk mengefektifkan pelaksanaannya maka pengentasan kemiskinan harus dengan melakukan “Transformasi Kelembagaan” dengan membentuk “Kementrian” yang khusus diberikan tanggung jawab menanganinya, serta semua anggaran tidak boleh lagi disebar diberbagai institusi atau kementrian yang ada seperti selama ini.

Hal ini untuk memastikan ada penanggung jawabnya dan tidak lagi tersebar tetapi terpusat pada satu menteri sebagai penanggung jawab.

Selain itu anggaran yang begitu besar menjadi lebih effektif, karena prinsip dari anggaran itu bukan saja “a matter of numbres but how to spent” .

Sehingga magnitude dari upaya dan kegiatan pengentasan kemiskinan dan stunting akan lebih effektif, karena prinsip “focus demand sacrifices”, sehingga anggaran itu tidak bertebaran dan tidak fokus. Kalau disebar dan dipakai oleh banyak institusi/lembaga dan kementerian, yang masing masing punya tugas fungsi yang spesifik. Jadi anggaran akan lebih terarah kalau diserahkan kepada satu kementerian saja yang diberi tugas dan tanggung jawab dalam pengentasan kemiskinan dan stunting tersebut.

Bilamana diserahkan kepada satu kementerian maka jelas siapa penanggung jawabnya dan lebih mudah mengikuti perkembangan dan progres penanganan program dari waktu kewaktu dengan cara membuat system monitoring evaluasi/monev operasional yang bisa dipantau secara berkala, baik bulanan, semesteran dan tahunan. Dengan demikian kegiatan pengentasan kemiskinan dan masakah stunting bisa dipantau perkembangan secara up to date dan day to day didalam pelaksanaannya.

Masalah lain adalah tidak perlu membentuk institusi baru oleh karena akan butuh waktu untuk bisa running dikarenakan oleh berbagai masalah birokrasi, melainkan dengan memadukkan tugas fungsi penanganan kemiskinan dan stunting itu kedalam tugas fungsi kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana, yang ditransformasi menjadi Kementerian.

Mengapa BKKBN, tidak lain karena lembaga ini punya track record yang mumpuni antara lain berkontribusi dalam membawa Indonesia menikmati bonus demografi dan juga telah mendapatkan berbagai penghargaan dari lembaga Internasional serta mempunyai infrastruktur dan kekuatan SDM yang tidak diragukan dan ada sampai digrassroots- pedesaan.

Baca Selanjutnya

DARI PENULIS

BERITA TERKAIT

IKLAN

TERBANYAK DIBACA

BACA JUGA