Kemunculan Terorisme dan Radikalisme, serta Upaya Penanganannya

Kemunculan Terorisme dan Radikalisme, serta Upaya Penanganannya

Dalam Webinar Nasional yang berlangsung tadi malam, minggu, 6/6/21 melalui virtual zoom yang diselenggarakan oleh PW NWDI DKI JAKARTA dan GTPA BNPT RI, bekerja sama dengan PB NWDI dan BNPT RI, dipasilitasi pelaksanaannya oleh media online Sinar LIMA yang berpusat di PONPES NAHDLATUL WATHAN JAKARTA, dengan tema “Menjaga generasi bangsa dari Radikalisme dan Terorisme” Brigjen Pol Ahmad Nur Wahid, direktur pencegahan BNPT menjelaskan dengan sangat jelas dan penuh semangat tentang berbagai permasalahan yang menyebabkan munculnya radikalisme dan terorisme, serta upaya penanganannya.

Dalam paparannya, beliau menyebutkan bahwa radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan Islam adalah cermin dari krisis spiritual dalam beragama, karena dalam beragama, konteks Islam yang selalu mengutamakan identitas formalitas, ritualitas, tetapi Ihsan, ikhlas dan adab kurang diperhatikan, yaitu bagaimana disiplin apeksi spiritual, jujur dan amanah. Adapun akar masalah radikalisme dan terorisme adalah ideologi yang terdistorsi virus, virus ideologi radikal yang memunculkan penyakit politik dan penyakit spiritual.

Dikatakan penyakit politik karena ini sejatinya adalah gerakan politik yang ingin mengambil kekuasaan dengan memanipulasi agama dan ingin mengganti ideologi negara dengan ideologi trans nasional dan ingin mengganti sistem negara dengan daulah, dan biasanya cenderung dilakukan dengan inkonstitusional di luar hukum. Adapun penyakit spiritual adalah karena adanya manipulasi agama. Bahwa semua tindakan terorisme tidak terkait dengan agama apapun tetapi terkait dengan pemahaman dengan cara beragama yang menyimpang dari oknum umat beragama yang bersangkutan dan biasanya ini didominasi oleh umat beragama yang menjadi mayoritas di suatu wilayah atau Negara.

Lebih lanjut beliau menjelaskan tentang alasan kenapa kebanyakan teroris yang terjaring adalah orang Islam?. Itu adalah karena kebetulan di Indonesia adalah mayoritas Islam sehingga teroris yang kami tahan semuanya ber- KTP Islam. Jelasnya.

Beliau juga menyebutkan, bahwa mereka yang sudah menjadi jaringan teror itu indikasinya yang pertama adalah sudah masuk dalam jaringan teror, seperti sudah melakukan sumpah baiat, melakukan liqo atau pengajian kecil, melakukan latihan perang dan sebagainya. Dan menurut analisa penyidik maupun intelijen, bahwa perbuatannya sudah memenuhi unsur tindak pidana teror dan berpotensi akan melakukan aksi teror, maka sebelum mereka melakukan aksi teror diadakan penangkapan.

Setelah ditangkap apakah para teroris disiksa akibat tindakannya Itu ?.

Begitu ditangkap, dilakukan pada mereka deradikalisasi yang isinya sebagai berikut:

Pertama, direhabilitasi ideologinya yang tadinya takfiri (suka mengkafirkan) dicoba dengan Islam rahmatan lil alamin, Islam wasathiyah dan lain sebagainya. Terangnya.

Beliau melanjutkan dengan mengemukakan sebuah pertanyaan “apakah ini bisa menjadi jaminan orang akan sadar?”, maka kita kembalikan di dalam Al-quran surat Yunus ayat 100
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ اَنْ تُؤْمِنَ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِيْنَ لَا يَعْقِلُوْنَ

“Dan tidak seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan azab kepada orang yang tidak mengerti.(Yunus:100).

Kita hanya berikhtiar dengan menggunakan pendekatan ilmiah dan logika kemanusiaan dan lain sebagainya. Jelasnya.

Yang kedua reedukasi, yaitu Diberikan keterampilan sesuai dengan keinginan dan bakatnya supaya nantinya kalau kembali ke masyarakat bisa beradaptasi dengan program reintegrasi sosial. Yang menjadi konsen dalam hal ini adalah bidang pencegahan, kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi dan deradikalisasi.

Selanjutnya beliau menjelaskan beberapa langkah yang dilakukan dalam pencegahan radikalisme dan terorisme, dengan berupaya bagaimana supaya negara ini menelorkan suatu regulasi yang melarang semua ideologi yang bertentangan dengan ideologi Negara, yang bertentangan dengan konsensus nasional, yaitu bertentangan dengan Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI. Selanjutnya penguatan kelembagaan, sesuai dengan Perpres nomor 7 tahun 2021 tentang rencana aksi nasional pencegahan dan penanggulangan ekstrim berbasis kekerasan mengarah pada terorisme sebagai fungsi koordinasi untuk melibatkan kementerian lembaga, untuk menghilangkan faktor korelatif kriminogen, termasuk bagaimana kerja sama dengan kementerian agama dan MUI untuk melakukan standarisasi ustadz, karena ustadz sebagai momen pintu masuk dan keluarnya radikalisme dan terorisme, kalau ustaz nya radikal, maka jamaahnya berpotensi untuk terpapar. Jelasnya.

Penanggulangan radikalisme dan terorisme harus dilakukan secara holistik dari hulu sampai hilir harus dilakukan secara bersama-sama melibatkan segenap elemen masyarakat bangsa dan negara, menguatkan dan melibatkan secara aktif dan produktif civil society moderat, civitas akademi ormas-ormas keagamaan dengan membentuk LPOI dan LPOK lembaga persahabatan ormas keagamaan. Tentu kita tidak hanya mengandalkan institusi Negara dan pemerintah, tetapi juga ulama dan tokoh-tokoh beragama yang lainnya harus terlibat dan menjadikan radikalisme dan terorisme adalah musuh bersama, musuh agama dan musuh Negara.

Adapun sebagai musuh agama, karena bertentangan dengan prinsip nilai-nilai keagamaan, menimbulkan fitnah dalam agama. Dan diikatakan musuh negara, karena bertentangan dengan perjanjian-perjanjian yang sudah ada pada kesepakatan berbangsa dan bernegara yaitu bertentangan dengan konsensus nasional, Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.

Pada akhirnya belia menyeru untuk bersatu padu dan mohon keredhaan Allah sebagai upaya meminimalisir terorisme dan radikalisme yang merupakan new Khawarij yang sudah ada semenjak Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.

Baca Selanjutnya

DARI PENULIS

BERITA TERKAIT

IKLAN

TERBANYAK DIBACA

BACA JUGA