Oleh: Abah Rosela Naelal Wafa
Sehubungan dengan Maulid Nabi Besar Muhammad saw. Tuan Guru Bajang Dr. KH. Muhammad Zainul Majdi, MA mengingatkan kepada umat Islam untuk senantiasa menampakkan cinta dan mahabbahnya kepada Rasulullah saw.
“Kita boleh mencintai 1001 hal di dunia ini.” Kata ulama tafsir tersebut di akhir kajian tafsirnya di Islamic Center Mataram kemarin.
Mana saja yang boleh dicintai?
Ya, apa saja. Semua boleh dicintai. Kalau dalam bahasa al-Qur’an –TGB mengutip ayat– disebutkan:
آبائكم وأبنائكم وإخوانكم وأزواجكم وعشيرتكم وأموال اقترفتموها وتجارة تخشون كسادها ومساكن ترضونها.
“Orang tuamu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluarga besarmu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatir kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai.” (Surah at-Taubah: 24).
Demikian delapan hal objek cinta yang semuanya boleh kita cintai. Tapi, jangan sampai mencintai semuanya melebihi cinta kita kepada Allah swt. dan Rasul-Nya.
Sungguh, betapa indahnya Islam. Naluri cinta manusia sepenuhnya diakomodir oleh kitab suci:
زين للناس حب الشهوات من النسآء والبنين والقناطير المقنطرة من الذهب والفضة والخيل المسومة والأنعام والحرث .
“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.” (QS. Âli Imran: 14).
Ayat ini pun semakin jelas membidik hati manusia yang tak bisa lekang dari mencintai wanita (pasangannya), anak-anak, atau harta kekayaan berupa emas, perak dan kuda (sekelas mobil di zaman sekarang), tapi –ingat– semuanya ada cara dan tata-tertibnya dalam mencinta.
“Jadi, manajmen cinta dalam diri orang beriman itu harus hati-hati. Semua boleh dicintai, tapi jangan melebihi cinta kita kepada Allah swt dan Rasul-Nya.” Tegas Gubernur NTB dua priode ini (2008-2018).
Lantas, bagaimana cara kita memporsikan cinta kepada hal-hal duniawi agar tidak berlebih berdasarkan tuntunan agama?
Ketua Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA) cabang Indonesia tersebut mengutip kata ulama sebagai berikut:
Bahwa, mencintai orang tua ialah dengan “birrul walidain” (berbakti kepada keduanya). Mencintai suami artinya, mematuhi perintahnya selama tidak menyalahi agama. Mencintai anak maksudnya ialah mendidik mereka.
Demikian pula, mencintai istri maksudnya adalah dengan cara bertanggungjawab kepadanya, memberikan ia nafkah lahir dan batin. Mencintai harta juga seperti itu, dengan cara mempergunakannya pada hal-hal yang baik dan mengeluarkan sebagiannya sebagai zakat, agar hak orang lain tertunaikan dengan baik.
“Kalau kita mewujudkan cinta kepada hal-hal yang ada di dunia dengan tuntunan yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya, maka cinta itu akan berkah.” Demikian penjelasan ulama jebolan Al-Azhar Cairo Mesir tersebut.
Karena itulah TGB pun menekankan, bahwa janganlah atas nama cinta kepada anak, lantas orang tua merasa tak enak membangunkannya shalat subuh di pagi hari.
Jangan pula atas nama cinta, seorang suami tak berani menegur istrinya saat berbuat salah. “Jangan sampai takut diomelin istri lalu membiarkannya dalam kesalahan.” Celetuk TGB.
Simpulannya, bahwa mencinta ada aturan dan tata tertibnya. Klimaks cinta seorang insan yang paling tinggi ialah mencintai Allah dan Rasul-Nya. Mencintai hal-hal duniawi di bawah keduanya.
Isyarat tata tertib cinta itu kata TGB –mengutip qaul ulama– bisa dilihat pada pengumpulan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dengan cinta kepada hal-hal duniawi yang terdapat pada surah at-Taubah di atas. Agar rentetan cinta kepada perkara duniawi kita tempatkan di bawah cinta kepada Tuhan dan Nabi kita yang mulia.
Dengan tertib cinta seperti demikian, maka tetesan keberkahan cinta akan menyelimuti. Seperti halnya yang dilakukan oleh sahabat Usman bin Affan, Abu Bakar ash-Shiddiq dan atau sahabat Amr bin Ash yang semuanya kaya, tapi kekayaannya tidak mengalahkan cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Wa Allah A’lam!
PP. Selaparang, 3 Nopember 2020 M.