Disusun oleh Khairunnisa Dahlan S. Aran
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Semester 1, STAI AL-AQIDAH AL-HASYIMIYYAH JAKARTA
Sinar5News.Com – Jakarta – Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari‟at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci.
Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash syara‟ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya. Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah Istinbath dari segi kebahasaan.
Dengan kaidah itu diharapkan dapat memahami hukum dari nash syara‟ dengan pemahaman yang benar, dan juga dapat membuka nash yang masih samar, menghilangkan kontradiksi antara nash yang satu dengan yang lain, mentakwilkan nash yang ada bukti takwilnya, juga hal-hal lain yang berhubungan dengan pengambilan hukum dari nashnya. Salah satu dari kaidah-kaidah ushul fiqh adalah lafadz „amm (lafaz umum) dan lafadz khas (lafaz khusus).
Berikut adalah pengertian tentang Amm dan Khas:
1. Pengertian Amm
Amm ialah suatu lafaz yang dipergunakan untuk menunjukan suatu makna yang pantas (boleh) dimasukan pada makna itu dengan mengucapkan sekali ucapan saja. Seperti kita katakan “arrijal”, maka lafaz ini meliputi semua laki-laki.
a). Ruang lingkup
Setiap lafaz (kata) mengandung dua lingkup pembahasan, yaitu :
(1) lafaz itu sendiri, yang tersusun dari huruf-huruf, dan
(2) makna atau arti yang terkandung dalam Lafaz itu. Para ulama ushul membahas persoalan tentang lafaz „am, khushush, mutlaq dan muqayyad dalam konteks : “apakah berada dalam lingkup lafaz atau lingkup makna”.
Jumhur ulama berpendapat bahwa „am itu pada hakikatnya berada dalam lingkup lafaz, karena ia menunjukkan pengertian-pengertian yang terkandung di dalamnya.
Sebagian kecil ulama berpendapat bahwa „am itu juga menyangkut makna.
Jumhur ulama berpendapat bahwa lafaz „am dapat juga digunakan untuk makna, namun penggunaan untuk makna itu hanya secara majazi, bukan dalam penggunaan yang sebenarnya, sebab kalau ia hakikatnya untuk makna, tentu akan berlaku untuk setiap makna.
Qadhi Abdul Wahhab berpendapat bahwa tidak ada yang dapat dikaitan kepada „am kecuali lafaz.
As-sharkisi (dalam kalangan ulama hanafi) berpendapat bahwa „am tidak dapat digunakan pada makna kecuali bila penggunaannya hanya secara majazi, karenanya perlu penjelasan untuk itu.
Segolongan ulama Irak berpendapat bahwa „am itu dapat digunakan untuk perbuatan dan hukum, dalam arti menanggungkan ucapan pada umumnya khitab meskipun tidak ada sasaran akhirnya.
Lafaz-lafaz umum :
a. Kullun, jami‟un, dan ma‟syara.
Contoh kullun:
“tiap-tiap umatku akan masuk ke dalam syurga kecuali orang yang enggan, siapa yang
menta‟atiku masuk dia kedalam syurga dan siapa yang enggan membangkang kepadaku itulahorang yang enggaa”(HR. Bukhary ).
“Tiap-tiap diri merasakan mati” (QS. Ali imran ayat 185)
Contoh jami‟un:
“Dialah (allah) yang menjadikan kamu dipermukaan bumi ini seluruhnya” (QS. Al baqarah ayat 29).
Contoh kaffah:
“Tidak kami utus engkau (hai muhammad), melainkan untuk memberi kabar gembira dan peringatan bagi manusia” (QS. Saba‟ ayat 28).
Contoh ma‟syara:
”Hai sekalian jin dan manusia! Tidaklah sampai kepadamu utusa-utusan yang menceritakan ayat-ku kepadamu? Serta menakuti kamu akan pertemuanhari ini” (QS. An‟am ayat 12).
b. Man, Maa, dan Aina pada Majas
Contoh Man:
Barangsiapa yang mengerjakan niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu (QS. An-Nisa‟; ayat 123)
Contoh Maa:
b). Pembagian Am
Lafaz umum, seperti dijelaskan Mustafa Sa‟id al-Khin, dibagi kepada tiga macam:
1).Lafaz umum yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil atau indikasi yang menunjukan tettutupnya kemungkinan ada takhsis (pengkhususan). Misalnya, ayat 6 Surat Hud:
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumu melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan temapat penyimpanannya. Semua tertulis dalamkitab yang nyata (Lauh Mahfuz). (QS. Hud/11: 6)
Yang dimaksud binatang melata dalam ayat tersebut adalah umum, mencakup seluruh jenis binatang tanpa kecuali, karena diyakini bahwa setiap yang melata di permukaan bumi adalah Allah yang memberi rezekinya.
Lafaz umum pada hal yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukan makna seperti itu.
Contoh:
Tidaklah sepatutnyabagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Baduwi yang berdiam disekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka dari pada mencintai diri Rasul. (At-Taubah/9: 120)
Ayat tersebut menunjukan makna umum, yaitu setiap penduduk Madinah dan orang-orang Arab sekitarnya termasuk orang-orang sakit dan orang-orang lemah harus turut menyertai Rasulullah pergi berperang. Namun yang dimaksud oleh ayat tersebut bukanlah makna umum itu, tetapi hanyalah orang-orang yang mampu.
Lafaz umum yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang di maksud bahwa makna umumnya atau adalah sebagian cakupannya.
Contoh :
Dan wanita – wanita yang di talak hendaklah menahan diri ( menunggu ) tiga kali quru. ( QS.al-baqarah/2:228)
Lafal umum dalam ayat tersebut yaitu al-muthallaqat (wanita – wanita yang di talak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang di maksud adalah makna umumnya itu atau sebagian cakupannya.
Takhsis adalah penjelasan bahwa yang di maksud dengan suatu lafal umum adalah sebagian dari cakupannya, bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, mengeluarkan sebagian dari satuan – satuan yang di cakup oleh lafal umum dengan dalil.
Di antara dalil – dalil pen takhsis, adalah takhsis dengan ayat Al-quran, takhsis dengan sunnah, dan takhsis dengan Qiyas. Lafal umum setelah di takhsis, ke umumannya menjadi khusus (makna sebagian).
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ayat-ayat Al-Quran, dan hadist mutawatir (hadist yang di riwayatkan sekelompok orang banyak yang tidak mungkin berbohong), dapat men takhsis ayat-ayat umum dalam Al-Quran.
2. Pengertian Lafaz Khas ( Khusus)
Lafaz khusus adalah lafaz yang dibuat untuk menunjukan satu satuan tertentu;berupa orang, seperti muhammad atau satu jenis, seperti laki-laki atau beberapa satuan yang bermacam-macam dan terbatas, seperti tiga belas,seratus, kaum, golongan, jama‟ah, kelompok dan lafal lain yang menunjukan jumlah satuan dan tidak menunjukan cakupan kepada seluruh satuannya.
Hukum lafaz umum secara global adalah jika ia terdapat dalam nash syara‟ yang menunjukan secara pasti kepada maknanya yang khusus yang dibuat untuknya secara hakiki dan hukum itu ditetapkan karena petunjuknya secara pasti buka dugaan.
Lafaz yang dari segi kebahasaan, ditentukan untuk satu arti secara mandiri
Menurut definisi terakhir ini, lafaz khas itu ditentukan untuk menunjukan satu satuan secara perorangan seperti si Ali; atau satu satuan secara kelompok seperti laki-laki; atau lafaz lain dalam bentuk satuannya (yang masuk dalam pengertian „am)
Khushush adalah keadaan lafaz yang mencakup sebagian makna yang pantas baginya dan tidak untuk semuanya. Dengan demikian dapat dibedakan antara khas dan khushush, meskipun dalam pengertian bahasa Indonesia sering disamakan. Pengertian khas adalah apa yang sebenarnya dikehendaki adalah sebagian yang dikandung oleh lafaz. Sedangkan pengertian khushush adalah apa yang dikhususkan menurut ketentuan bahasa, bukan berdasarkan kemauan.
Ketentuan lafaz khas dalam garis besarnya adalah:
a. Bila lafaz khas lahir dalam bentuk nash syara‟ (teks hukum), ia menunjukan artinya yang khas secara qath‟i al-dalalah (penunjuk yang pasti dan meyakinkan) yang secara hakiki ditentukan untuk itu. Hukum yang berlaku pada apa yang dituju oleh lafaz itu adalah qath‟i. Umpamanya firman Allah dalam surat al-Maidah/5:89
Maka kaffarahnyan adalah memberi makan sepuluh orang miskin. Hukum yang dapat diperoleh dari ayat tersebut adalah keharusan memberikan makan sepuluh orang miskin, tidak lebih dan tidak kurang.
b. Bila ada dalil yang menghendaki (pemahaman lain) dari lafaz khas itu kepada arti lain, maka arti khas itu dapat dialihkan kepada apa yang dikehendaki oleh dalil itu.
Umpamanya sabda Nabi:
Untuk setiap empat puluh ekor kambing, (zakatnya) satu ekor kambing
Oleh ulama hanafi zakat kambing dalam hadist itu dita‟wilkan kepada yang lebih umum yang mencakup kambing dan nilai harganya. Juga menta‟wilkan lafaz hadist:
“segantang kurma” dalam kewajiban zakat fitrah, kepada “haraga segantang kurma”.
c. Bila dalam suatu kasus hukumnya bersifat am dan ditemukan pula hukum yang khushush dalam kasus lain, maka lafaz khas itu membatasi pemberlakuan hukum „amm itu.
d. Bila ditemukan pembenturan antara dalil khas dan dalil amm, terdapat perbedaan pendapat.
1). Menurut ulama Hanafiah, seandainya dalil itu bersamaan masanya, maka dalil yang khas mentakhsiskan yang amm, karena tersedianya persyaratan untuk takhsish. Bila keduanya tidak bersamaan waktunya di sini ada dua kemungkinan bila lafaz amm terkemudian datangnya, maka lafaz amm itu menasakh lafaz khas itu menasakh lafaz „amm dalam sebagian afradnya.
2). Menurut jumhur ulama, tidak tergambar adanya pembenturan antara dalil „amm dengan dalil khushush karena keduanya bila datang dalam waktu bersaan maka yang kahas memberi penjelasan terhadap yang amm, karena yang umum itu adalah dalam bentuk zhahir yang tetap berkemungkinan untuk menerima penjelasan di samping untuk diamalkan menurut keumumannya hingga diketahui adanya dalil khas. Lafaz khas itulah yang menjelaskan lafaz amm.
Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari‟at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash syara‟ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya.