Teknologi Spiritual? Refleksi Buku Hizib Islam Nusantara (Pengamalan Hizib Nahdlatul Wathan)

Teknologi Spiritual? Refleksi Buku Hizib Islam Nusantara (Pengamalan Hizib Nahdlatul Wathan)

Sebagai individu beragama kita tentu sudah akrab dengan “doa”. Bahkan, tanpa pendalaman konsep yang serius, kita dapat menerapkannya di setiap jengkal aktivitas terlebih dalam ritual ibadah. Namun, bagi pemeluk agama tertentu ( Islam), ada fenomena lain tentang doa yang cukup menarik untuk diketahui, yaitu “hizib”.Bagi umat Islam awam ( bukan kalangan santri, atau pembelajar dalam lembaga keislaman tertentu) boleh jadi kita asing dengan hizib. Untuk itu, bagi yang senang dengan khazanah spritualitas, membaca buku “Hizib Islam Nusantara: Pengamalan Hizib Nahdlatul Wathan” dari Hipzon Putra Azma, M.Hum akan banyak mendongkrak kadar wawasan kita.

Konsep hizib dan eksistensinya di Nusantara

Substansi buku ini adalah hasil tesis yang gagasannya merupakan tetesan dari kajian tasawuf yang dibantu dengan wacana kebudayaan.

Pengamalan Hizib Nahdlatul Wathan yang merupakan objek penelitian,  membuat Hipzon meyimpulkan bahwa Hizib Nahdlatul Wathan adalah Hizib Islam Nusantara. Dengan pemahaman, bahwa Hizib Nahdlatul Wathan merupakan karya monumental dari ulama besar nusantara asal lombok NTB yang juga seorang pahlawan nasional,  yaitu Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid.

Pada buku tersebut Hipzon menguraikan konsep mendasar mengenai hizib, dan eksistensinya di dunia Islam secara umum dan di nusantara secara khusus.(Hlm. 27)

Berbeda dengan doa-doa pada umumnya yang kita kenal,secara kuantitas hizib cenderung lebih panjang, karena berisi kumpulan doa-doa yang dinukil dari Al-Quran, kebiasaan Nabi Muhammad,  dan lain -lain. Untuk Hizib Nahdlatul Wathan misalnya, pada praktiknya (pembacaan) memerlukan 1 jam lebih, dan waktu pembacaannya pun terlepas dari ritus baku ( sholat).

Lalu, salah satu yang juga membedakan hizib dengan doa-doa seperti wirid atau zikir yang lazim dilakukan selepas sholat adalah disiplin waktunya.  Hizib diamalkan (dibacakan) pada waktu yang dikhususkan. Pada dasarnya, hizib diperuntukan dalam konteks dan hajat tertentu, dan biasanya diterapkan secara kolektif bukan personal.
Selain itu, Hizib juga memiliki nilai ikatan antara guru dan murid, atau kiai dan santri-santrinya, atau jamaah kelompok pengajian tertentu ( tarekat). Perkenan kiai ( penyusun hizib) yang biasa disebut “ijazah” merupakan rules terpenting bagi pembacanya. Hal ini yang membuatnya cenderung sakral dan eksklusif.

Kendati demikian, Hipzon menjelaskan bahwa Hizib Nahdaltul Wathan yang merupakan salah satu dari sejumlah hizib yang beredar di nusantara, pada perkembangannya cenderung terbuka, tak menutup diri (eksklusif) bagi individu mana pun. Hal itulah bagi Hipzon yang menyebabkan Hizib Nahdlatul Wathan tersebar luas di luar Lombok dan berpotensi besar dalam siar Islam di era globalisasi ( modern).

Hizib Nahdaltul Wathan dan resistansi era penjajahan Jepang.

Terlepas dari koridor spiritual, hizib sebagai produk kebudayaan masyarakat sangat menarik untuk dikaji dan dipahami kembali. Sebagai contoh, apabila melihatnya secara historis, Hizib Nahdaltul Wathan yang disusun oleh Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid pada tahun 1943, disebarkan pada masa-masa penjajahan Jepang. Seperti yang dijabarkan oleh Hipzon pada bukunya, bahwa salah satu faktor yang menyebabkan Hizib ini lahir ialah sebagai reaksi atas sikap Jepang yang ingin menutup sejumlah madrasah Nahdlatul Wathan.

“…Utusan Jepang berkali-kali datang menemui Tuan Guru K.H Muhammad Zainuddin Abdul Madjid di Madrasah Nahdlatul Wathan dengan maksud tunggal yakni ingin membubarkan Madrasah Nahdaltul Wathan Diniyah Islamiyah dan Nahdaltul Banat Diniyah Islamiyah…”hlm 70.

Menariknya, Hizib Nahdlatul Wathan  yang sebermula merupakan produk perjuangan, dalam hal ini sebagai bentuk perlawanan terhadap Jepang, hingga kini masih terus diamalkan (dibacakan) oleh masyarakat bahkan meluas sampai ke ibu kota dengan bingkai yang beragam, dari pendidikan, pesantren hingga ke personal. Seperti yang dinarasikan Hipzon berikut,

” … saya ditodong 7 buah senjata tajam dibadan saya, seketika ity saya teringat bahwa saya pernah diijazahkan Hizib Nahdlatul Wathanz lalu saya baca salah satu bagian dari Hizib Nahdaltul Wathan, seketika itu pula tangan preman itu gemetar lalu pergi.”( Hlm 140).

Pengakuan salah seorang pengamal Hizib Nahdlatul Wathan di Jakarta yang diwawancarai Hipzon tersebut merupakan salah satu dari sejumlah pengakuan. Boleh jadi ini fenomena kecil, dari perjalanan panjang hal serupa di daerah-daerah nusantara.

Asumsi tekhnologi spiritual

Selepas membaca penjelasan-penjelasan dalam buku Hizib Islam Nusantata tadi, lantas kita dapat berbelok ke wilayah asumsi lain. Misalnya, fenomena suatu masyarakat dalam merespon getaran zaman nampaknya dapat memperlihatkan sifat unik dari suatu masyarakat (bangsa).

Kita boleh teringat pada sisi masyarakat lain tentang produk budayanya, terkhusus dalam situasi tertekan (war). Orang eropa misalnya,  penghasil banyak perangkat yang kerap disebut teknologi, walau bersifat destroying.  Seperti ketika pertempuran Perang Dunia ke 1, yang menjadi masa-masa prototip ground ship( tank ) dibuat oleh militer Inggris. Belum lagi pada era perang dunia 2, yang mendorong Wernher Magnus mengembangankan teknologi roket untuk Nazi ( Jerman).

Hampir setiap teknologi jenis serupa terus dikembangkan hingga era modern. Dan sebagian besar memang menuntut kesehatan alam dan bahkan manusianya.

Kita mungkin masih gugup untuk bisa bangga dengan kenyataan, bahwa teknologi kita memang jangan-jangan memiliki karakter yang lain dengan masyarakat belahan eropa sana.  Sebab, kita masih terjebak pada pengelihatan, dalam konteks ini maka yang terlihat ditangan perlawanan masyarakat ketika era penjajahan tak lain adalah bambu runcing.

Hadirnya Hizib Nahdaltul Wathan di tengah masyarakat nusantara terlebih tatkala kondisi “perang”, boleh saja mendorong asumsi bahwa “doa” mengandung “energi”, dan ini telah ditemukan bahkan diterapkan oleh leluhur-leluhur kita di banyak daerah. Tentu wajar kalau kita terlanjur minder  kemudian menyebut hal-hal semacam ini sebagai sesuatu yang kuno, mistik, tertinggal dan tak sedikitpun berhubungan dengan teknologi.

Namun, di lain sisi, pemikir-pemikir barat belakangan ini mulai sibuk membedah hal-hal semacam itu, bukan hanya dalam kajian psikologi atau parapsikokogi, namun dalam bentuk kajian sains.

Misalnya, sebuah upaya menguak sistem komputasi pada alam semesta, dengan mengembangkan eksperimen fisika quantum. Riset ini mencoba merumuskan eksistensi jaringan energi besar dalam jagat raya, yang mengaitkan segala sesuatu di alam semesta termasuk manusia. Asumsi ini memungkinkan peneliti untuk dapat menguak fenomena -fenomena ajaib pada pengalaman manusia, seperti kehadiran manusia di dua tempat dalam waktu yang sama, terkabulnya ucapan doa, dan lain sebagainya. (Buku Divine Matrix dari Greeg Braden).

Dengan demikian, asumsi-asumsi dalam refleksi singkat ini tentu masih banyak yang “bengkok” ketepatan ilmiahnya. Maka, sekiranya ada kesempatan, mungkin itu semua dapat diluruskan dalam kajian lebih lanjut oleh penulis buku Hizib Islam Nusantara ini, atau mungkin untuk pembaca sekalian.

Penulis : Marendra Agung

Baca Selanjutnya

DARI PENULIS

BERITA TERKAIT

IKLAN

TERBANYAK DIBACA

BACA JUGA