Habib Ziadi Thohir
(Penulis Risalah Al-Muhibbin 1-3).
Sikap yang sepatutnya ditampilkan ketika berhadapan ahli ilmu, terlebih lagi bila ahli dalam ilmu agama adalah harus hormat (takzim), memuliakannya (ikrom), dan bila perlu melayani keperluannya (khidmah). Demikianlah akhlak seorang muslim terhadap ulama, apalagi jika ia sedang atau pernah berguru langsung padanya.
Memuliakan ahli ilmu, mengagungkannya, bahkan melayaninya merupakan sikaf para salaf. Mereka melakukan hal itu karena mengarap keberkahan ilmu sang ulama turut pula mengalir padanya. Seorang ulama pernah bertutur, “Jika engkau menjumpai seorang murid sangat antusias memuliakan gurunya dan menghormatinya secara zahir dan batin disertai keyakinan pada sang guru, mengamalkan ajarannya, dan bersikap dengan prilakunya, maka pasti dia akan mewarisi barakah ilmu sang guru.”
Pada Masa lampau, mereka yang memuliakan guru atau ulama bukan saja para pelajar. Namun, para pemuka bahkan khalifah dan raja-raja melakukan hal serupa. Mereka itupun mewariskan sikap demikian pada anak keturunannya. Iman, ilmu, dan adab memang tidak bisa diwariskan begitu saja dari orang tua ke anak, namun harus disertai keteladanan dari orang tua sendiri.
Syaikh Az-Zarnuji dalam Ta’lim Al-Mut’allim mengisahkan bahwa suatu saat Khalifah Harun Ar-Rasyid mengirimkan putranya kepada Imam Al-Ashma’i, salah satu ulama besar yang menguasai bahasa Arab untuk belajar ilmu dan adab. Di sebuah kesempatan Harun Ar-Rasyid menyaksikan Al-Ashma’i sedang berwudhu dan membasuh kakinya, sedangkan putra Harun Ar-Rasyid menuangkan air untuk sang guru.
Setelah menyaksikan peristiwa itu, Harun Ar-Rasyid pun menegur Al-Ashma’i atas tindakannya itu, ”Sesungguhnya aku mengirimkan anakku kepadamu agar engkau mengajarinya ilmu dan adab. Mengapa engkau tidak memerintahkannya untuk menuangkan air dengan salah satu tangannya lalu membasuh kakimu dengan tangannya yang lain?”
Putra Ar-Rasyid, Al-Amin dan Al-Makmun pernah berebut sepasang sandal Syaikh Al-kisa’i. Keduanya berlomba untuk memasangkan sandal syaikhnya itu di kakinya, sehingga mengundang kekaguman sang guru. Syaikhnya lalu berucap, “Sudah, masing-masing pegang satu-satu saja.”
Ketika dewasa, Khalifah Al-Makmun juga berusaha untuk menumbuhkan sifat tawadhu kepada para putranya. Ibnu Khalikan dalam Wafayat Al-A’yan telah mencatat peristiwa yang menunjukkan betapa Khalifah Al-Makmun berpayah-payah dalam berusaha agar putra-putranya kelak dewasa dengan sifat mulia ini.
Ketika itu, Khalifah Al-Makmun menunjuk Al-Farra’, ulama bahasa saat itu untuk mengajarkan ilmu nahwu kepada kedua putranya. Apa yang dulu pernah dilakukan dengan saudaranya dipraktikkan pula oleh kedua anaknya.
Suatu saat setelah menyampaikan ilmunya, Al-Farra’ pun bangkit dari tempatnya untuk meninggalkan istana. Kemudian kedua putra Al-Makmun berebutan untuk menyiapkan sandal Al-Farra’. Perebutan sandal itu menyebabkan keduanya berkelahi sampai akhirnya keduanya berdamai dan bersepakat bahwa masing-masing membawa satu sandal untuk diserahkan kepada Al-Farra’.
Kabar mengenai perkelahian itu akhirnya sampai ke telinga Khalifah Al-Makmun melalui telik sandinya. Dan orang yang paling disegani di seluruh penjuru Baghdad itu pun akhirnya memanggil Al-Farra’.
Setelah Al-Farra’ menghadap, Al-Makmun bertanya, ”Siapa orang di Baghdad ini yang paling terhormat?” Al-Farra’ menjawab, ”Paduka orang yang paling dihormati di negeri ini.”
Lantas Al-Makmun bertanya kembali, ”Lantas siapa orang yang menyebabkan perkelahian karena berebut membawa sandalnya?”
Al-Farra’ menjawab, ”Hamba sebenarnya hendak melarangnya, namun hamba khawatir merusak karakter baik kedua putra paduka yang telah tertanam sebelumnya.” Menyimak alasan Al-Farra’, Al-Makmun menyampaikan, ”Aku telah mengajari anakku meskipun mereka dihormati untuk bertawadhu kepada tiga orang, yakni orangtuanya, gurunya, serta pemimpinnya. Bahkan aku melatih mereka dalam hal ini sampai menghabiskan 20 ribu dinar. Sebab itu, aku memberimu 10 ribu dirham sebagai balasan atas pendidikanmu yang baik kepada anak-anakku.”
Pengajaran sikap tawadhu Harun Ar-Rasyid kepada putra-putranya tidak hanya mengandalkan para ulama, namun beliau sendiri memberi tauladan kepada putra-putra beliau. Sebagaimana tercatat dalam Al-Adab As Syari’iyah oleh As-Safarini. Suatu saat Imam Malik diminta oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk berkunjung ke istana dan mengajar Hadits kepadanya. Namun Imam Malik tidak hanya menolak datang, ulama yang bergelar Imam Dar Al-Hijrah itu malah meminta agar khalifah yang datang sendiri ke rumah beliau untuk belajar. “Wahai Amirul Mukminin, ilmu itu didatangi, tidak mendatangi,” kata Imam Malik.
Akhirnya, Harun Ar-Rasyidlah yang datang kepada Imam Malik untuk belajar. Meski seorang khalifah, Harun Ar-Rasyid mencari ilmu dengan cara yang biasa ditempuh oleh kalangan rakyat jelata, yakni dengan mendatangi para ulamanya.
Tidak hanya terhadap Imam Malik, Harun Ar-Rasyid juga menjaga ketawadhuan di hadapan guru-guru para putranya. Suatu saat Ar-Rasyid pernah meminta kepada Abu Yusuf, qadhi negara waktu itu, untuk mengundang para ulama Hadits agar mengajar Hadits di istananya. Tetapi tidak ada yang merespon undangan itu, kacuali dua ulama: Abdullah bin Idris dan Isa bin Yunus. Mereka bersedia mengajarkan Hadits, itupun harus dengan syarat, yakni belajarnya harus dilaksanakan di rumah mereka, tidak di istana.
Akhirnya kedua putra Ar-Rasyid, Al-Amin dan Al-Makmun yang mendatangi rumah Abdullah bin Idris. Dari Abdullah bin Idris, dua putra khalifah itu memperolah pengajaran seratus Hadits.
Setelah itu, Al-Amin dan Al-Makmun berangkat menuju rumah Isa bin Yunus dalam rangka mempelajari ilmu yang sama. Setelah keduanya memperolehnya, sebagai ”ucapan terima kasih”, Al-Makmun memberikan 10 ribu dirham. Tapi Isa bin Yunus menolak, dan mengatakan, ”Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak untuk mendapatkan apa-apa, walau hanya segelas air untuk minum.”Demikianlah, kebesaran, kehebatan, kekuasaan tidak lantas menjadikan Harun Ar-Rasyid bersifat sombong.
Lebih dari itu, beliau merendahkan hati dan menindidik anak-anaknya dengan tauladan yang baik Sikap menghormati, memuliakan, dan melayani ahli ilmu saat ini sudah semakin memudar. Teori-teori pendidikan modern menyepelekan nilai-nilai positif di atas. Teori yang lahir hanya bagaimana cara menyerap ilmu, menelannya, masuk ke otak hingga membuat cepatmengerti. Sedikitpun tidak disinggung bagaimana sikap terhadap orang yang lebih tua dan sikap terhadap guru.
Pendidikan yang tidak menekankan adab dan sopan santun hanya akan mentransper ilmu sampai ke otak saja. Ilmu itu tidak akan sampa ke hati. Ilmunya sebatas teori tanpa praktik. Alhasil nantinya lahir insan-insan yang cuma pandai beretorika, namun miskin aplikasi. Cerdas berdiplomasi, cerdas pula mempermalukan orang lain. Hal ini karena penekanan pada perubahan akhlak, lebih-lebih hormat kepada orang lain, terutama ahli ilmu sudah tidak dianggap prioritas lagi dalam pendidikan.
Pendidikan yang menekankan pelayanan, penghormatan, dan kepatuhan pada guru (ahli ilmu) melahirkan hubungan antar personal yang sangat erat. Keterikatan emosional dan spiritual antara murid dan guru akan terus terjalin meski sang murid tidak lagi duduk belajar di hadapan sang guru. Bahkan, hingga sang guru meninggalpun, hubungan timbal balik itu akan selalu dikenang dan tak akan terlupakan begitu saja. Kesannya akan terus membekas hingga kapanpun.