Ada pendatang, dan ada yang menyambut. Yang datang menghormati tuan rumah, yang menyambut memuliakan sang tamu. Itulah Muhajirin dan Anshar, simbol persaudaraan.
Ada yang petani, ada yang pedagang. Ada yang pandai besi, ada yang peramu minyak wangi. Semuanya hidup dalam hangat ikatan silaturahmi. Mau hitam kulit sampai putih paras, tak ada yang lebih mulia selain yang bertaqwa.
Ada yang dari Persia, namanya Salman. Ada yang dari Habasyah, namanya Bilal. Ada yang orang kaya tapi rendah hati seperti Sa’ad bin Rabi, Utsman dan Abdurrahman. Ada yang sederhana tapi perwira, seperti Abu Hurairah, Zaid bin Haritsah dan Julaibib.
Pemimpinnya manusia terbaik, rakyatnya generasi paling apik. Madinah dipimpin Rasul hanya 10 tahun, tapi teladannya ditiru sampai 1400 tahun. Madinah kota sederhana, tapi jadi inspirasi bagi manusia Asia sampai pedalaman Afrika.
Indonesia bisa, Insyaallah. Suatu hari nanti menjadikan Madinah sebagai model dari Sabang sampai Merauke. Beranekaragam, namun hidup dalam harmoni.
Semuanya kita mulai saat ini: pelajari sejarah sang Nabi, pelajari saripati Madinah nan madani, dan hadirkan kemuliaannya di Bumi Pertiwi.
لو كان الولاء للأرض ما ترك النبي مكة و لو كان للقبيلة ما قاتل قريشا و لو كان للعائلة ما تبرأ من أبي لهب و لكنها العقيدة أغلى من التراب و الدم!
Seandainya kesetiaan tertinggi itu bagi tanah kelahiran, tentu Nabi saw tidak meninggalkan Makkah. Seandainya bagi suku bangsa, tentu bangsa Quraisy tidak diperangi. Dan seandainya bagi keluarga, tentu Abu Lahab tidak dimusuhi. Akan tetapi kesetiaan tertinggi itu hanya bagi akidah, karena ia lebih mahal dari tanah dan darah.