Oleh: Hasan Asy’ari
Dalam berbagai fase perjalanan bangsa, mahasiswa selalu tampil sebagai kelompok yang memainkan peran penting dalam perubahan sosial. Mereka bukan sekadar kaum terdidik, tetapi merupakan lapisan intelektual yang memiliki energi moral dan vitalitas pemikiran. Hal ini sejalan dengan pendapat Knopfelmacher dalam karyanya Intellectuals and Politics, bahwa mahasiswa memiliki dua karakter mendasar: pertama, mereka adalah bagian dari kaum intelektual yang kritis dan berpikiran terbuka; kedua, mereka berada pada usia muda yang produktif, penuh tenaga, dan senang menghadapi tantangan. Dua karakter inilah yang membuat mahasiswa tidak hanya istimewa, tetapi juga strategis dalam proses perubahan.
Sebagai kelompok elit di antara generasi muda lainnya, mahasiswa memikul tanggung jawab moral yang tidak ringan. Mereka diharapkan mampu mengawal berbagai proses pemberdayaan masyarakat, menjadi penyangga nilai-nilai demokrasi, serta menjadi pelopor dalam membangun kesadaran publik. Dalam konteks Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyyah, mahasiswa tidak hanya ditempatkan sebagai pelajar yang menuntut ilmu, tetapi sebagai agen perubahan yang membawa cahaya bagi umat dan bangsa.
Di sinilah inti pesan Maulana Syaikh: menempatkan mahasiswa pada posisi mulia dalam perjuangan. Bagi beliau, kekuatan mahasiswa bukan terletak pada kekuasaan atau jabatan, melainkan pada idealisme, gagasan, dan daya juang yang bersumber dari himmah—semangat luhur yang menggerakkan jiwa untuk berkhidmah tanpa pamrih. Himmah merupakan energi spiritual yang melampaui kemampuan fisik; ia adalah cahaya yang menuntun perjuangan.
Ungkapan para ulama, “Himmaturrijal tahdumul jibal”—cita-cita seseorang mampu meruntuhkan gunung—mendapat makna baru ketika ditempatkan dalam perjuangan mahasiswa NWDI. Gunung dalam ungkapan ini dapat ditafsirkan sebagai tantangan besar yang berdiri kokoh: status quo yang stagnan, kebekuan sosial, atau ketidakadilan yang mengurat mengakar. Namun dengan himmah, gunung-gunung itu dapat digerakkan dan diruntuhkan.
Maulana Syaikh bahkan sering mengingatkan bahwa “satu jiwa yang hidup akan mengalahkan seribu jiwa yang mati.” Satu jiwa yang hidup adalah jiwa yang menyala dengan semangat perjuangan, ikhlas, dan kesadaran tinggi untuk mengabdi. Jiwa yang mati adalah jiwa yang kehilangan ghirah, pasrah pada keadaan, dan terpenjara kenyamanan. Dalam perjuangan, jumlah bukanlah ukuran; yang menentukan adalah nyala jiwa.
Maka bagi Himmah NWDI, pesan ini adalah panggilan.
Bangkitlah!
Kalian adalah pasukan elit Maulana Syaikh: bukan untuk menakut-nakuti, bukan untuk menantang penguasa, tetapi untuk mengawal kebijakan agar tetap berpihak kepada umat. Kalian adalah penyambung napas perjuangan, penjaga moral, dan penggerak harapan jamaah yang begitu besar.
Siapkan diri. Jangan malas. Jangan terlelap oleh kesibukan yang kecil hingga melupakan tugas yang besar. Teruslah hadir di tengah masyarakat, mengawal aspirasi mereka, mendampingi yang lemah, dan menjaga marwah organisasi yang diwariskan dengan cucuran air mata dan perjuangan Maulana Syaikh.
Semoga Allah SWT memudahkan langkah kita, membersihkan niat kita, dan menjadikan setiap langkah kecil kita sebagai bagian dari perjuangan besar menegakkan kebaikan.
Amin ya Rabbal ‘Alamin.


