TGB, BINTANG TERANG AL-AZHAR (Cucu Tuan Guru Pancor Bergelar Doktor)

TGB, BINTANG TERANG AL-AZHAR (Cucu Tuan Guru Pancor Bergelar Doktor)

Oleh: Abah Rosela Naelal Wafa

Salah satu cucu Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid al-Mashur bii Tuan Guru Pancor yang bergelar Doktor adalah TGB. KH. Muhammad Zainul Majdi.

Bahkan, TGB adalah Doktor pertama dari zurriyah Maulana. Baru beberapa tahun berikutnya disusul yang kedua oleh Ummi Hj. Siti Rohmi Djalilah atau Wakil Gubernur NTB saat ini.

In syaa Allah, kenyataan ini pastinya menjadi sebuah kebanggan bagi Sultanul Auliya tersebut, bahwa ada dua orang dari belasan cucunya telah meraih gelar Doktor. Cucu-cucu yang gemilang di bidang akademik.

Dan –falhamdulillah– kebetulan Duo Doktor tesebut sama-sama pernah dan sedang menjadi orang nomor satu dan nomor dua di NTB ini. Siapa yang tidak kenal TGB pernah jadi Gubernur NTB (2008-2018).

Pengantar tulisan tersebut di atas, diucapkan sebagai sebuah التحدث بنعمة الله (ungkapan syukur kepada Allah terhadap nikmat-Nya) tidak ada maksud lain. وأما بنعمة ربك فحدث (Adapun nikmat Tuhanmu, maka ceritakanlah) firman Allah.

Namun, yang menjadi pokok bahasan di sini ialah Tuan Guru Bajang. Bagaimana dan seperti apakah jejak dan lika liku pendidikan TGB hingga bisa meraih gelar akademik tertinggi, yakni Doktor?

Untuk menjawabnya, lagi-lagi tulisan ini berpandu kepada curhatan Ummuna Hj. Siti Rauhun Zainuddin Abdul Majid.

Ibu kandung TGB ini dalam ceritanya berkata, bahwa obsesi yang paling diimpikan dari putranya yang saleh ini, ialah bagaimana supaya M. Zainul Majdi muda bisa kuliah di Al-Azhar hingga meraih gelar Doktor.

“Pokoknya jangan dia pulang sebelum menjadi Doktor.” Kata Ummuna bercerita.

Aduh, siapa sangka, setelah TGB selesai S2 dan telah menikah, ternyata beliau pulang melanjutkan kiprah dakwah dan majlis Niniknya Al-Magfurulah dan memimpin Pondok Pesantren Darunnahdatain NW Pancor.

Karena sudah kadung pulang, maka Ummuna menyuruh putranya yang pintar ini, untuk terjun di dunia politik sebagai politisi dari Partai Bulan Bintang (PBB), dan –alhamdulillah– terpilih sebagai anggota DPR RI.

Belum genap satu periode sebagai anggota DPR RI, jamaah NW ngotot mencalonkan beliau sebagai Gubernur NTB (2008-2013), dan –dengan izin Allah– pasangannnya berhasil memenangkan kontestasi, dan termasuk mengalahkan calon incumbent kala itu.

Nah, antara memahami kesibukan TGB sebagai Umara dan obsesi Ummuna yang ingin melihat sang putra bisa menjadi Doktor, membuat Ummuna bingung, bagaimana harus mengutarakan impiannya kepada sang anak. Lantas, Ummuna banyak termangu sendiri.

“Kenapa sih Ummi kok bengong-bengong. Padahal sedang menonton TV, tapi pikiran dan pandangannya terlihat kosong.” Tanya Pak Nasihun kepada Ummuna.

“Begini H. Nasihun, saya memikirkan betapa sibuknya Tuan Guru (TGB) sebagai Gubernur dan juga sibuk menghafal al-Qur’an. Sementara, saya maunya melihat dia menjadi Doktor, karena begituuu niatku sejak awal.” Curhat Ummuna secara pontan.

Padahal tak pernah disuruh oleh Ummuna, eeeh tiba-tiba Pak H. Nasihun pergi ke TGB dan menceritakan keadaan Ummuna dan keinginannya yang masih terpendam sejak dulu itu.

Apa jawaban Tuan Guru Bajang?

“O, kasih tau Ummi saya ya, apa yang diinginkan Ummi saya itu, in syaa Allah akan terkabul.” Kata TGB menitip salam buat Umminya.

Maka, sejak itulah Tuan Guru mulai berdaftar, dan aktif mengirim tulisan-tulisannya lewat menteri luar negeri. Kesibukannya sebagai orang nomor satu di NTB , tak mau menjadi penghalang dirinya untuk mewujudkan mimpi indah Sang Ummi tercintanya.

Sebagai gambaran kegigihan, ketekunan dan keuletan perjuangan TGB belajar, menurut ceritanya –yang penulis dengar dulu–, bahwa TGB tak pernah tidur malam dari jam satu dini hari hingga tiba waktu subuh. Pekerjaannya hanya membaca dan menulis. Membaca dan menulis, begitu saja seterusnya.

Motivasi TGB hanya satu, pantang membuat Umminya kecewa dan bersedih. Kesedihan Umminya adalah duka dirinya. Demikian gambaran prinsip Tuan Guru Hafidz al-Qur’an tersebut.

Setelah sekian bulan bahkan setahun telah berlalu, akhirnya Dosen-dosen TGB di Al-Azhar bertanya, “Kenapa tulisannya saja yang bisa kita lihat, mana orangnya ini? Mau sih kita bertemu sama orangnya secara langsung.”

Berita ini diketahui TGB saat diberitahu temannya. Mendengar permintaan Dosennya seperti itu, TGB pun memberitahu Umminya dan minta izin untuk ke Cairo dulu, sekedar untuk menentukan jadwal ujiannya. Ujian tulisan dan ujian lisan.

Ummuna pun dalam kondisi masih sakit struk kala itu, dengan ikhlas mengizinkan putranya berangkat ke Al-Azhar. Sembari hati Sang Ummi yang terus berdegup dan lisan komat-kamit mendoakan anak yang patuh itu. Semoga bisa lulus.

Mengapa Ummuna demikian?

Karena dalam benak Ummuna saat itu, –masih cerita Ummuna– yang paling dikhawatirkannya, ujian lisan TGB berupa menghafal al-Qur’an. Kekhawatiran Ummuna memang beralasan, sebab kapan ada waktu luang TGB menghafal al-Qur’an sementara ada ratusan kegiatannya sebagai Gubernur NTB yang diselesaikannya.

Namun, memang pantang ada dalam kamus hidup TGB untuk menyia-nyiakan waktu. Waktu luang dan saat bekerja yang masih disambilkan menghafal, digunakannya untuk tahfidz kitab suci.

“Kenapa ya mulutnya Pak Gubernur komat-kamit saat kita minta tanda tangan. Ditanda tangani berkas kita, tapi ia sambil komat-kamit.” Kata SKPD-SKPD itu dengan penuh heran.

“Tuan Guru Bajang sedang menghafal al-Qur’an.” Kata ajudan memberitahu para SKPD-SKPD itu.

Begitulah ceritanya.

Selanjutnya yang mengagetkan, –kata Ummuna sambung ceritanya– menjelang jadwal ujian Disertasi Doktoralnya, TGB mengajak Umminya umrah. “Kenapa sih Tuan Guru mengajak Ummi umrah dalam keadaan pincang begini. Nanti bisa memberatkan Tuan Guru sendiri.” Kata Ummuna heran.

“Ah, nanti saya yang mengurus Ummi.” Jawab TGB.

Singkat cerita, umrah pun dilaksanakan. Dan terbukti, saat di Makkah, Tuan Guru sendiri yang mengurus Ummuna. Beliau yang mengajak Ummuna thawaf, memberikannya makan. Dan segala keperluan lainnya. Rupanya TGB sedang ngelayap berkah pada Umminya di tanah suci Makkah.

Setelah itu, TGB juga mengajak Ummuna ke Mesir untuk menyaksikan langsung proses “munaqasah” (ujian) Disertasi Doktoralnya. Dan berdasarkan cerita Ummuna, saat ujian itu TGB mempertahankan karya ilmiahnya di hadapan empat orang Profesor.

Dengan Dosen Penguji Profesor Dr. Abdul Hay Hussein Al-Farmawi dan Profesor Dr. Al-Muhammady Abdurrahman Abdullah ats-Tsulus. Disertai dua guru besar sebagai pembimbing, yakni Profesor Dr. Said Muhammad Dasuqi dan Profesor Dr. Ahmad Syahaq Ahmad.

Menariknya, menurut cerita Ummuna, ternyata Disertasi Tuan Guru Bajang diotak-atik oleh Dosen Penguji Pertama, tapi semuanya dilayani dan dijawab tuntas oleh Tuan Guru. Sampai akhirnya, teman Guru Besar yang di sebelahnya berbisik kepada penguji tersebut.

“Tidak ada celah kita mengujinya, semua diketahuinya.” Bisik Dosen penguji kedua itu kepada temannya.

Akhirnya, setelah diuji oleh guru-guru besar tersebut. TGB pun dinyatakan lulus dan berhasil meraih gelar Doktor dengan predikat Martabah El-Syarif El-Ula Ma’a Haqquttaba atau Summa Cum Laude pada hari Sabtu, 8 Januari 2011.

Dan bahkan Dosen pengujinya tak luput memuji kualitas keilmuan dan bobot karya ilmiah TGB.

“Muhammad Zeen ini, dia sulit ditiru oleh generasi yang akan datang. Apalagi, dia juga sedang memimpin ummat. Dan hebatnya, Muhammad Zeen menafsirkan 11 surah, padahal cukup 1 surah saja sudah bisa lulus. Maka Disertasi ini layak dan bisa diperbanyak untuk disebar ke Universitas-universitas lain.” Kata Dosen Penguji keempat.

Teriring doa, semoga karya ilmiah TGB tersebut yang mulai dari awal surah an-Nahl sampai akhir surah ash-Shaffat tersebut segera terbit lengkap dalam bentuk kitab tafsir utuh 30 juz. Âmiiin!

Wa Allah A’lam!

PP. Selaparang, 22 September 2020 M.

Baca Selanjutnya

DARI PENULIS

BERITA TERKAIT

IKLAN

TERBANYAK DIBACA

BACA JUGA