Memahami Filosofi Kata TAQWA

Memahami Filosofi Kata TAQWA

Seseorang disisi Allah tidak diukur dengan ketampanan, kekayaannya, atau keilmuannya, akan tetapi semuanya diukur dari segi ketaqwaan. Semakin taqwa seseorang, maka semakin tinggi derajatnya disisi Allah.

Taqwa dapat diartikan dengan “imtisalu awaamirillah” yaitu menjunjung tinggi segala perintahnya, “ijtinabun nawahiihi” serta menjauhi segala laranganlnya.

Menurut pandangan imam Qusyairi, Taqwa terdiri empat huruf yaitu : ta’ (ت)، qof (ق)، wawu (و) dan ya’ (ي). Empat huruf tersebut memiliki beberapa arti.

Pertama adalah ta’ (ت) maknanya “tawadhu’ atau tadarru'” merendah, lawan dari sifat “takabbur” sombong. Yaitu orang yang memiliki sifat Tawadhu’ kepada Allah, tawadhu’ kepada sesamanya, tawadhu’ terhadap lingkungannya, baik itu dalam bentuk ucapan ataupun perilaku.

Orang yang tawadhu’ akan ditinggikan derajatnya oleh Allah SWT, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits

مَنْ تَوَاضَعَ ِللهِ رَفَعَهُ اللهُ وَمَنْ تَكَبَّرَ وَضَعَهُ اللهُ

Barang siapa yang merendah hati karena Allah, maka Allah mengangkat (derajat)-nya, dan barang siapa yang sombong, maka Allah menyia-nyiakannya. (HR Abu Nu‘aim)

Contoh tawadhu’ kepada Allah adalah menjalankan ibadah seperti salat misalnya, orang yang shalat karena Allah memiliki sifat tawadhu’, karena dalam dirinya ada rasa merendah kepada Allah yang menciptakannya. Apalagi di dalam shalat ada proses ruku dan sujud yang menggambarkan posisi merendah seorang hamba kepada Allah SWT.

Contoh tawadhu’ kepada sesama manusia ialah bagaimana sikap seseorang kepada orang tuanya, kepada gurunya, atau kepada orang lain sesamanya.

Erat juga kaitan tawadhu’ dalam mendapatkan ilmu pengetahuan, tawadhu’ itu sangat dibutuhkan bagi penuntut ilmu sebagai langkah untuk mendatangkan keberkahan ilmu dari Allah SWT. dengan cara menjaga tindakan atau perilaku saat berada di depan guru, jangan sampai perilakunya menyakiti hati sang guru. Termasuk juga tawadhu’ ialah menghargai kitab ketika belajar, dengan tidak menaruhnya di bawah kaki.

Diantara sifat tawadhu’ juga adalah menerima kebaikan walaupun dari siapa saja yang menyampaikannya, tidak memandang ilmu tersebut berasal dari santri ataupun dari kyai. Yang dilihat adalah kebenaran terhadap apa yang disampaikan, karena pada prinsipnya Ketika suatu itu benar, maka harus diterima walaupun dari siapapun datangnya atau siapapun yang menyampaikannya.

Termasuk juga tawadhu’ adalah orang yang memiliki jabatan yang tinggi akan tetapi tidak sombong dengan jabatan yang dimiliki, orang yang kaya dan tidak sombong dengan kekayaan yang dimiliki. Begitu juga orang yang memiliki ilmu dan tidak sombong terhadap ilmu yang dimiliki, tak ubahnya laksana padi semakin berisi semakin menunduk.

Adapun lawan dari sifat tawadhu’ adalah sombong yang merupakan salah satu sifat setan yang sangat tercela.

Kedua qof (ق) yaitu “qonaah” menerima apa adanya baik itu kecil atau besar, sedikit ataupun banyak yang diberikan Allah, selalu bersyukur terhadap pemberian tersebut sebagai bentuk terimakasih nya kepada Allah terhadap anugerah pemberiannya.

Siapa saja yang mampu menerapkan sifat qana’ah maka dia akan selalu merasa tenang dalam dirinya, Karena pada hakikat sebenarnya bahwa semuanya adalah berasal dari Allah SWT.

Ketiga Wawu (و) maknanya “wara’ ” adalah sifat tindih dari hal yang tidak baik, seperti menjauhi sesuatu yang masih subhat, sebagaimana dalam sebuah hadits.

…فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وعرضه…

Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya

Atau menjaga diri dari sesuatu yang tidak berguna, sebagaimana dalam hadits berikut

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:«مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ». حَدِيْثٌ حَسَنٌ, رَوَاهُ التِّرْمِذِي وَغَيْرُهُ هَكَذَا.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di antara tanda kebaikan keIslaman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan yang lainnya)

Apalagi terkait dengan hal yang diharamkan sudah pasti dijauhi, supaya tidak terjerumus dan tidak tumbuh dalam dirinya sesuatu yang haram.

Gambaran dari contoh wara’ adalah seperti seseorang menemukan makanan ditengah jalan, maka makanan tersebut tidak diambil karena belum jelas hukum halal atau haramnya. Meskipun dihawatirkan akan terjadi kerusakan pada makanan tersebut apabila dibiarkan.

Keempat Ya’ (ي) maknanya “Yaqin” yaitu meyakini dengan sungguh-sungguh tanpa ada keraguan. Misalnya yakin terhadap adanya Allah SWT, yakin terhadap malaikat yang selalu mengawasi manusia, yakin terhadap akan dibalasnya segala amal yang dilakukan manusia, serta banyak lagi hal yang terkait dengan keyakinan yang dapat dibahas lebih lanjut di pelajaran tauhid.

Tulisan ini diambil dari intisari pengajian mingguan Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan Jakarta pada malam Selasa tanggal 16 November 2020 di masjid HAMZANWADI Jakarta, yang disampaikan oleh TGKH.Muslihan Habib,M.Ag.

Fath.

Baca Selanjutnya

DARI PENULIS

BERITA TERKAIT

IKLAN

TERBANYAK DIBACA

BACA JUGA