Kisah Perjuangan Maulana Syaikh Melawan Penjajah di Pulau Lombok

Kisah Perjuangan Maulana Syaikh Melawan Penjajah di Pulau Lombok

PERANAN TUAN GURU KYAI HAJI ZAINUDDIN ABDUL MADJID DALAM MEMPERJUANGAN REVOLUSI KEMERDEKAAN DI PULAU LOMBOK (Ustadz Haji Ahmad Nursaid NW Mujur)

   Penjajahan merupakan sejarah kelam bagi sebuah bangsa. Kehidupan rakyat selalu diselimuti kebodohan dan keterbelakangan dalam segala aspeknya. Gembaran ini paling tidak tercermin pada kehidupan bangsa Indonesia ketika dijajah, baik oleh Belanda, Jepang, maupun NICA.

   Perjuangan bangsa Indonesia untuk mewujudkan kemerdekannya, melepaskan diri dari hisapan penjajah sama usianya dengan penjajahan itu sendiri. Perjuangan kemerdekaan itu berlangsung dari kurun waktu ke kurun waktu, sebagai mata rantaiperjuangan rakyat di berbagai daerah Nusantara.

Foto Maulana Syaikh dan Santri – Sumber: Google

   Di Pulau Lombok, daerah Nusa Tenggara Barat juga tidak pernah sepi dari perjuangan seperti itu. Perjuangan itu antara lain dimotori oleh para pemimpin agama masyarakat yang peduli akan nasib bangsa terjajah. Salah satunya adalah Maulana Syaikh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dengan menjadikan
Madrasah NWDI sebagai basis perjuangan.

   Bagi Maulana Syaikh, penjajahan merupakan potret sebuah pemerintahan yang zalim dan mengebiri kemerdekaan rakyat. Beliau mengibaratkan rakyat terjajah seperti burung dalam sangkar, yangtidak pernah menikmati alam bebas. Selain itu, beliau menyebut kaum kolonialis itu sebagai kaum kafir, yang tidak menerapkan hukum berdasarkan ketentuan Allah SWT.     

   Dalam berbagai kesempatan, beliau seringkali menyitir firman Allah dalam AL-Qur’an yang mengatakan :
وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ

“Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yangditurunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yangkafir.” (QS. Al-Mäidah (5] 44).

وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

“Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yangzalim.” (QS.Al-Máidah (5): 45)

   Kedua ayat di atas selalu diungkapkan sebagai landasan bagi Maulana Syaikh dalam memotivasi para santri untuk membangun kekuatan perlawanan terhadap kaum penjajah.

Foto santri NW Pancor – Sumber: Google

   Selain itu, untuk lebih memotivasi santri, beliau tidak segan segan di depan kelas memperagakan teknik penggunaan pedang dan peralatan perang tradisional lainnya. Yang menarik, dari jiwa dan semangat yang dikorbankan kepada para santrinya ketika memperagakan peralatan tadi adalah kerelaannya untuk menanggalkan jubah dan hanya mengenakan baju kaos oblong. Seolah-olah beliau memang berada dalam latihan yang sebenarnya.

   Sedangkan untuk latihan bela diri, beliau lakukan dengan mendatangkan Abang Ujang, seorang guru bela diri keturunan Makassar. Para santri diwajibkan untuk mengikuti kegiatan tersebut, di samping kegiatan rutin mempelajari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Hal ini semakin menggambarkan betapa tinggi semangatnya untuk melakuakan perlawanan terhadap penjajah.

Ilustrasi Perlawanan Rakyat NTB – Sumber : Google

   Salah satu bentuk nyata perlawanan beliau adalah peristiwa pertempuran 7 Juni 1946 di Kota Selong untuk menggempur markas tentara NICA. Kekuatan perlawanan berasal dari santri-santri Madrasah NWDI yang dipimpin oleh Tuan Guru Haji Muhammad Faisal. Di antara santri-santri tersebut adalah saya sendiri (Ahmad Nursaid), Dahmuruddin Mursyid, Umar, M. Thoyyib, Saparul Khair, dan lain-lain. Kekuatan santri ini didukung oleh kekuatan rakyat dari Pringgasela di bawah pimpinan Sayyid Saleh dan daerah-daerah lainnya, seperti Lendang Nagka, Kumbang, Danger, Kalijaga, dan Lenek. Dalam peristiwa itu peranan Maulana Syaikh adalah sebagai pengatur strategi peperangan.

­
   Strategi peperangan diatur oleh Maulana Syaikh menjadi tiga formasi, yaitu formasi kiri dibawah pimpinan Abdullah, formasi kanan dibawah pimpinan Sayyid Saleh, dan formasi tengah di bawah pimpinan Tuan Guru Haji Faisal. Dalam perencanaannya, formasi kiri menyerang terlebih dahulu, di susul formasi kanan, dan formasi tengah sebagai kekuatan penggempur akhir.
Sayangnya, kenyataan di medan perang menyatakan lain. Tuan Guru Haji Muhammad Faisal sepertinya tidak bersabar untuk menanti serangan dari formasi kiri dan kanan. Semangatnya demikian berkobar ketika melihata markas Gajah Merah (sebutan markas tentara NICA) di Kota Selong sudah pertanda peperangaan telah mulai dikobarkan. Maka pecahlah pertempuran pada hari.Jumat malam Sabtu tanggal 7 Juni 1946 dini hari.

Santri-Santri NW Pejuang – Sumber: Google

   Dalam peperangan tersebut, tiga orang pemimpin peperangan yaitu Tuan Guru Haji Muhammad Faisal, Abdullah, dan Sayyid Saleh gugur menjadi syuhada di markas tentara Gajah Merah. Sementara pihak musuh sejumlah delapan orang tewas. Pada malam hari secara rahasia semua tentara NICA yang tewas ini diangkat dan dikuburkan di Mataram.

    Kenangan yang paling mengharukan yang saya alami bersamakawan-kawan, adalah ketika mengetahui Tuan Guru Haji Muhammad Faisal gugur di medan perang. Dengan perasaan yang demikian bergejolak, saya melaporkan peristiwa ini kepada Maulana Syaikh di Pancor. Beliau kemudian memerintahkan agar para syuhada itu dibawa pulang ke Madrasah di Pancor. Lalu dengan petunjuk beliau pula, ketiga pejuang ini dimakamkan sebagai syahid di pekuburan umum Selong.

    Gugurnya Tuan Guru Haji Muhammad Faisal tidak menyurutkan langkah Maulana Syaikh untuk membangun kekuatan perlawanan terhadap penjajah. Sebagai bukti sejarah, keesokan harinya Maulana Syaikh berpidato di tempat umum, tepatnya di Perempatan Pancor.Dalam pidatonya beliau menyitir ayat Al-Qur’an yang mengatakan:
وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ .وَلَٰكِنْ لَا تَشْعُرُونَ

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati: bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup. tetapi kamu tidak menyadar inya.” (QS. AL-Baqarah [2]:154)

   Dengan ayat ini, beliau menggambarkan bahwa peperangan melawan penjajah adalah peperangan di jalan Allah dan apabila mati di dalamnya, maka dikategorikan sebagai syuhada. Tentu saja mengungkapkan ini ditujukan untuk mengobarkan kembali semangat jihad.

   Di samping mengungkapkan ayat di atas, bahkan beliau secara berapl-api menyatakan, “sudah saatnya pintu surga dibuka”. Maksud dari ungkapan ini tidak lain agar semangat jihad dan perlawanan tetap dihidupkan.

    Sebagai bukti sejarah lainnya dalam upaya beliau mempertahankan Kemerdekaan adalah penugasan para santri untuk menjaga Bendera Merah Putih yang dikibarkan tepat di depan Madrasah NWDI. Ketika itu, saya mendapat giliran bersamna Sayyid Hasyim, santri dari Desa Selebung, Keruak, Lombok Timur.

   Selain bentuk-bentuk perlawanan di atas, Maulana Syaikh juga mendorong semangat perlawanan dalam bentuk lainnya Salah satunya ketika saya ditangkap oleh tentara NICA dan dihadapkan ke Pengadilan Raad Sasak di Praya, akibat pidato saya dalarm sebuah khutbah Jum’at. Belakangan saya mengetahui bahwa di tempat lain, Abdul Kadir Ma’arif, santri Madrasah NWDI, juga telah ditangkap karena hal yang sama.

    Ketika Pengadilan Raad Sasak Praya memutusakan saya bersalah dan dihukum dengan denda sebesar 2500 uang hitam, maka saya mengajukan apel (banding) ke Asisten Residen di Mataram, kemudian ke Singaraja. Saya mampir menerima hukuman yang dibebankan kepada saya. Namun, ketika persoalan ini saya kemukakan kepada Maulana Syaikh, dengan penuh semangat beliau menyatakan, “Teruslah mengajukan apel, karena apel saudaramu Abdul Kadir Ma’arif sudah sampai di Jakarta.”

   Dorongan moril ini semakin menggugah semangat perlawanansaya, sekalipun akhirnya saya tidak dihukum, karena telah terjadi penyerahan kedaulatan RI dalam Perjanjian Meja Bundar.

    Demikianlah sekelumit pengalaman hidup yang menggam-barkan betapa besarnya peranan Maulana syaikh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dalam kancah perjuanganrevolusi kemerdekaan di negara tercinta.

         Ditulis oleh Ustadz Haji Ahmad Nursaid pimpinan Madrasah Nurul Hudan NW Mujur Lombok Tengah dan Alumni Madrasah NWDI 1959

Sumber : Buku Visi Kebangsaan Religius karya Mohammad Noor, Muslihan Habib, Muhammad Harfin Zuhdi

Baca Selanjutnya

DARI PENULIS

BERITA TERKAIT

IKLAN

TERBANYAK DIBACA

BACA JUGA