Mataram pada mulanya hanyalah merupakan hutan yang penuh tumbuhan tropis di atas puing-puing istana tua Mataram Hindu, lima abad sebelum berdirinya kerajaan Mataram (Islam) yang kita bicarakansekarang ini. Wilayah ini di akhir abad ke-16 (pada masa pemerintahan Sultan Pajang – Jaka Tingkir) telah dibedah kembali oleh seorang Panglima Pajang ” K i Gede Ngenis” yang kemudian popuier dengan Ki Pemanahan dengan suatu misinya untuk memasukkan wilayah tersebut ke dalam pengaruh Islam dibawah panji kerajaan Pajang.
Konon karena khawatir akan sabda yang disampaikan oleh Sunan Giri ketika Sultan Hadiwijaya sowan ke Giri Kedaton, maka Sultan Hadiwijaya mengulur-ulur waktu untuk menyerahkan tanah tersebut. Berkat bantuan Sunan Kalijaga Ki Ageng Pemanahan memberanikan diri untuk meminta haknya, yaitu tanah Mataram yang telah dijanjikan Sultan Hadiwijaya sebelum menaklukkan Arya Penangsang, Adipati Jipang Panolan.
Kharisma Mataram menjadi turun semenjak mangkatnya Sultan Agung di bulan Februari 1646 dan diganti putranya “Susuhunan Amangkurat I’. Raja baru Mataram yang menggunakan gelar Susuhunan (artinya yang disembah atau dipuji – bisa juga berarti Kaïsar) ini disamping memerintah secara otoriter, kejam juga termasuk raja yang antipati terhadap ulama. Tercatat selama ia berkuasa telah membantai dua ribu ulama termasuk mertuanya, Sunan Giri Prapen. Bersekongkol dengan Kompeni, berpola hidup ala Barat, dansa, minum minuman keras dan lain sebagainya merupakan kebijaksanaan yang ditempuh.
Ini berbeda dengan para pendahulunya yang menghormati ulama dan antipati terhadap kompeni adapun Sultan Agung menjalin kerja sama dengan Portugis itu sebatas demi kepentingan kerajaan atau dengan kata lain untuk membendung usaha penetrasi yang dijalankan oleh kompeni yang bermarkas di Batavia.
17 November 2020
Hipzon Putra Azma