40 Hadits As Shaulatiyah. Hadits Ke Sebelas

40 Hadits As Shaulatiyah. Hadits Ke Sebelas

وعن ابن مسعود رضي الله عنه – قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم- : « أفضل الأعمال الصلاة في أول وقتها » .رواه الترمذي والحاكم وصحَّحه

Dari Ibnu Mas’ud ia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: “Seutama-utama ‘amal ialah shalat pada awal waktunya.”.
Hr. At Tirmizi dan Hakim.

==============
Penjelasan hadits :

Setelah mendatang kan hadits ke Sembilan yang berkaitan tentang kesalahan dan khilapan, lanlu As Syekh Abdullah Al Lahjiy mendatangkan hadits ke sebelas ini yang berkaitan tentang sholat, seakan akan beliau mengingatkan salah satu cara menutupi kekurangan diri yaitu dengan cara menjaga sholat (mendekatkan diri dan bertaubat), sebagaimana dalam sebuah hadits, nabi saw, bersabda akan pentingnya sholat :

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قاَلَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( إنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ ، فَإنْ صَلُحَتْ ، فَقَدْ أفْلَحَ وأَنْجَحَ ، وَإنْ فَسَدَتْ ، فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ ، قَالَ الرَّبُ – عَزَّ وَجَلَّ – : اُنْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ ، فَيُكَمَّلُ مِنْهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ ؟ ثُمَّ تَكُونُ سَائِرُ أعْمَالِهِ عَلَى هَذَا )) رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ ، وَقَالَ : (( حَدِيثٌ حَسَنٌ ))

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, : “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah sholatnya. Maka, jika sholatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika sholatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari sholat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki sholat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari sholat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.”
(HR. Tirmidzi, ia mengatakan hadits tersebut hasan.) [HR. Tirmidzi, no. 413 dan An-Nasa’i, no. 466. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shoheh].

Pada Hadits ke 11 mengandung beberapa hal diantaranya:
– Sholat pada awal waktu itu adalah sebaik-baiknya amalan,
– Sholat memiliki bagian waktu : Waktu Awal dan Waktu Akhir

Ibnu Masud :
Dia bernama Abdullah bin Mas’ud ,
Tak berapa lama setelah memeluk Islam, Abdullah bin Mas’ud mendatangi Rasulullah dan memohon kepada beliau agar diterima menjadi pelayan beliau. Rasulullah pun menyetujuinya.

Sejak hari itu, Abdullah bin Mas’ud tinggal di rumah Rasulullah. Dia beralih pekerjaan dari penggembala domba menjadi pelayan utusan Allah dan pemimpin umat. Abdullah bin Mas’ud senantiasa mendampingi Rasulullah bagaikan layang-layang dan benangnya. Dia selalu menyertai kemana pun beliau pergi.

Dia membangunkan Rasulullah untuk shalat bila beliau tertidur, menyediakan air untuk mandi, mengambilkan terompah apabila beliau hendak pergi dan membenahinya apabila beliau pulang. Dia membawakan tongkat dan siwak Rasulullah, menutupkan pintu kamar apabila beliau hendak tidur.

Bahkan Rasulullah mengizinkan Abdullah memasuki kamar beliau jika perlu. Beliau memercayakan kepadanya hal-hal yang rahasia, tanpa khawatir rahasia tersebut akan terbuka. Karenanya, Abdullah bin Mas’ud dijuluki orang dengan sebutan “Shahibus Sirri Rasulullah” (pemegang rahasia Rasulullah).

Abdullah bin Mas’ud dibesarkan dan dididik dengan sempurna dalam rumah tangga Rasulullah. Karena itu tidak kalau dia menjadi seorang yang terpelajar, berakhlak tinggi, sesuai dengan karakter dan sifat-sifat yang dicontohkan Rasulullah kepadanya. Sampai-sampai orang mengatakan, karakter dan akhlak Abdullah bin Mas’ud paling mirip dengan akhlak Rasulullah.

Abdullah bin Mas’ud pernah berkata tentang pengetahuannya mengenai Kitabullah (Al-Qur’an) sebagai berikut, “Demi Allah, yang tiada Tuhan selain Dia. Tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur’an, melainkan aku tahu di mana dan dalam situasi bagaimana diturunkan. Seandainya ada orang yang lebih tahu daripada aku, niscaya aku datang belajar kepadanya.”

Abdullah bin Mas’ud tidak berlebihan dengan ucapannya itu. Kisah Umar bin Al-Khathab berikut memperkuat ucapannya. Pada suatu malam, Khalifah Umar sedang dalam perjalanan, ia bertemu dengan sebuah kabilah. Malam sangat gelap bagai tertutup tenda, menutupi pandangan setiap pengendara. Abdullah bin Mas’ud berada dalam kabilah tersebut. Khalifah Umar memerintahkan seorang pengawal agar menanyai kabilah.
“Hai kabilah, dari mana kalian?” teriak pengawal.
“Min fajjil ‘amiq (dari lembah nan dalam),” jawab Abdullah.
“Hendak kemana kalian?”
“Ke Baitu Atiq (rumah tua, Ka’bah),” jawab Abdullah.
“Di antara mereka pasti ada orang alim,” kata Umar.
Kemudian diperintahkannya pula menanyakan, “Ayat Al-Qur’an manakah yang paling ampuh?”

Abdullah menjawab, “Allah, tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya) tidak mengantuk dan tidak pula tidur…” (QS Al-Baqarah: 255).

“Tanyakan pula kepada mereka, ayat Al-Qur’an manakah yang lebih kuat hukumnya?” kata Umar memerintah.

Abdullah menjawab, “Sesungguhnya Allah memerintah kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang kamu dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS An-Nahl: 9).

“Tanyakan kepada mereka, ayat Al-Qur’an manakah yang mencakup semuanya!” perintah Umar.
Abdullah menjawab, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan walaupun seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan walaupun sebesar dzarrah, niscaya dia akan melihat balasannya pula.” (QS Al-Zalzalah: 8).
Demikian seterusnya, ketika Umar memerintahkan pengawal untuk bertanya tentang Al-Qur’an, Abdullah bin Mas’ud langsung menjawabnya dengan tegas dan tepat. Hingga pada akhirnya Khalifah Umar bertanya, “Adakah dalam kabilah kalian Abdullah bin Mas’ud?”

Jawab mereka, “Ya, ada!”

Abdullah bin Mas’ud bukan hanya sekedar qari’ (ahli baca Al-Qur’an) terbaik, atau seorang yang sangat alim atau zuhud, namun ia juga seorang pemberani, kuat dan teliti. Bahkan dia seorang pejuang (mujahid) terkemuka. Dia tercatat sebagai Muslim pertama yang mengumandangkan Al-Qur’an dengan suara merdu dan lantang.

Pada suatu hari para sahabat Rasulullah berkumpul di Makkah. Mereka berkata, “Demi Allah, kaum Quraisy belum pernah mendengar ayat-ayat Al-Qur’an yang kita baca di hadapan mereka dengan suara keras. Siapa kira-kira yang dapat membacakannya kepada mereka?

“Aku sanggup membacakannya kepada mereka dengan suara keras,” kata Abdullah.

“Tidak, jangan kamu! Kami khawatir kalau kamu membacakannya. Hendaknya seseorang yang punya keluarga yang dapat membela dan melindunginya dari penganiayaan kaum Quraisy,” jawab mereka.

“Biarlah, aku saja. Allah pasti melindungiku,” kata Abdullah tak gentar.

Keesokan harinya, kira-kira waktu Dhuha, ketika kaum Quraisy sedang duduk-duduk di sekitar Ka’Baha Ad-Daulah. Abdullah bin Mas’ud berdiri di Maqam Ibrahim, lalu dengan suara lantang dan merdu dibacanya surah Ar-Rahman ayat 1-4.

Bacaan Abdullah yang merdu dan lantang itu kedengaran oleh kaum Quraisy di sekitar Ka’bah. Mereka terkesima saat mendengar dan merenungkan ayat-ayat Allah yang dibaca Abdullah. Kemudian mereka bertanya, “Apakah yang dibaca oleh Ibnu Ummi Abd (Abdullah bin Mas’ud)?”

“Sialan, dia membaca ayat-ayat yang dibawa Muhammad!” kata mereka begitu tersadar. Lalu mereka berdiri serentak dan memukuli Abdullah. Namun Abdullah bin Mas’ud meneruskan bacaannya hingga akhir surah. Ia lalu pulang menemui para sahabat dengan muka babak belur dan berdarah.

“Inilah yang kami khawatirkan terhadapmu,” kata mereka.

“Demi Allah, kata Abdullah, “Bahkan sekarang musuh-musuh Allah itu semakin kecil di mataku. Jika kalian menghendaki, besok pagi aku akan baca lagi di hadapan mereka.”

Abdullah bin Mas’ud hidup hingga masa Khalifah Utsman bin Affan memerintah. Ketika ia hampir meninggal dunia, Khalifah Utsman datang menjenguknya. “Sakit apakah yang kau rasakan, wahai Abdullah?” tanya khalifah.

“Dosa-dosaku,” jawab Abdullah.
“Apa yang kau inginkan?”
“Rahmat Tuhanku.”

“Tidakkah kau ingin supaya kusuruh orang membawa gaji-gajimu yang tidak pernah kau ambil selama beberapa tahun?” tanya Khalifah.

“Aku tidak membutuhkannya,” kata Abdullah.
“Bukankah kau mempunyai anak-anak yang harus hidup layak sepeninggalmu?” tanya Utsman.

“Aku tidak khawatir, jawab Abdullah, “Aku menyuruh mereka membaca surah Al-Waqi’ah setiap malam. Karena aku mendengar Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang membaca surah Al-Waqi’ah setiap malam, dia tidak akan ditimpa kemiskinan selama-lamanya!”

Abdullah bin Mas’ud wafat di Madinah Th. 32 H.

Imam Muslim
Nama lengkapnya adalah Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Nisapuri, atau yang lebih dikenal dengan Imam Muslim. Nama Nisapuri dinisbatkan kepada tempat kelahiran beliau, yaitu Nisapur yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia.
Dalam sejarah Islam, kawasan Nisapur (Nisabur) terkenal dengan sebutan Maa Wara’a an Nahr, artinya daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Imam Muslim lahir pada tahun 206 H.
Seorang ahli hadits kontemporer asal India, Muhammad Mustafa Azami, lebih menyetujui kelahiran beliau pada tahun 204 H atau 819 M. Beliau wafat hari senin bulan Rajab , tahun 261 H.
Namun, menurut Azami dalam Studies In Hadith Methodology and Literature, sejarah tidak dapat melacak garis keturunan dan keluarga sang imam. Sejarah hanya mencatat aktivitas Imam Muslim dalam proses pembelajaran dan periwayatan hadits. Pada masa beliau, rihlah (pengembaraan) untuk mencari hadits merupakan aktivitas yang sangat penting. Imam Muslim pun tak ketinggalan mengunjungi hampir seluruh pusat-pusat pengajaran hadis.
Adz-Dzahabi dalam karyanya Tadzkirat al-Hufazh menyebutkan bahwa Imam Muslim mulai mempelajari hadits pada 218 H. Azami setuju dengan pendapat tersebut. Ini artinya bahwa Imam Muslim masih berusia sangat belia, sekitar 12 sampai 15 tahun, saat mulai mempelajari hadis.
Bahkan, Azami berpendapat, sebelum mempelajari hadits, sang imam terlebih dahulu telah mempelajari Alquran, bahasa Arab, dan ilmu tata bahasa Arab. Karena, menurutnya, pola pendidikan pada masa itu memang menuntut jenjang pembelajaran yang demikian.
Pengembaraan Imam Muslim dari satu negara ke negara lain dilakukan berkali-kali. Akan tetapi, jelas Azami, beliau baru benar-benar berketetapan hati mempelajari hadits pada 230 H. Pada periode itu, sang ahli hadits menjelajah hingga ke Khurasan, Irak, Syria, Hijaz, dan Mesir. Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Irak, ia belajar kepada Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz, belajar kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas’Abuzar; serta di Mesir, berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya.
Selain nama-nama di atas, dalam Ensiklopedia Islam disebutkan, guru Imam Muslim adalah ahli hadits terkenal, yaitu Imam Bukhari. Imam Muslim belajar hadits kepada Imam Bukhari. Kunjungan Imam Bukhari ke Nisapur, dimanfaatkan Imam Muslim untuk belajar kepadanya.

Allahu’alam Bis showab.

Baca Selanjutnya

DARI PENULIS

BERITA TERKAIT

IKLAN

TERBANYAK DIBACA

BACA JUGA